27 June 2008
EFEO: Pada Abad IX di Daerah Barus Sudah Mengalami Globalisasi
Penelitian arkeologi di tanah air belum berkembang karena jumlah peneliti masih sedikit. Padahal, masih banyak persoalan yang perlu dipecahkan, di samping arkeologi yang menarik lantaran cakupan budayanya yang begitu luas.
Dr Daniel Perret, Direktur Ecole Francaise d’Extreme-Orient (EFEO), adalah salah satu arkeolog yang menaruh perhatian sangat besar terhadap arkeologi di Indonesia. Kini Daniel bersama EFEO melakukan sejumlah penelitian, di antaranya di Batu Jaya, tentang candi-candi di Karawang dan sebuah kuno Barus di Sumatera Utara, serta batu nisan di Aceh. Berikut kutipan wawancara dengan Daniel Perret.
Penelitian apa saja yang sedang Anda lakukan di Indonesia
Saya sebagai peneliti sejarah Indonesiasejak sekitar 10 tahun yang lalu dan kini bertugas di Indonesia, khususnya dalam bidang sejarah kuno. Batu Aceh sedang mendapat perhatian sejumlah peneliti termasuk saya, baik di Indonesia maupun Malaysia. Kebetulan penelitian saya tentang batu Aceh sampai sekarang lebih ke Malaysiakarena saya pernah bertugas sebagai perwakilan EFEO di Kuala Lumpur selama 6 tahun. Saya sempat melakukan banyak survei di Semenanjung Malaysia untuk mencari sejenis monumen yang disebut batu Aceh. Itu diperkirakan berasal dari satu tradisi kesenian yang muncul di Aceh.
Apa kesenian Aceh berkaitan dengan batu Aceh?
Ini masih satu tanda tanya besar karena sejarah monumen ini masih belum jelas. Seperti semua orang tahu, penelitian sejarah di Aceh belum begitu maju karena sudah lama para peneliti sulit masuk ke Aceh. Dengan demikian, penelitian sejarah di sana agak terbengkalai.
Mengapa batu tersebut harus bernama Aceh dan bagaimana bentuknya?
Istilah batu Aceh digunakan untuk sejenis batu nisan pada makam Islam. Tingginya sekitar 40 cm hingga 2 meter. Ada beberapa jenis atau tipe batu nisan tersebut yang sempat kami identifikasi. Yang sangat menarik dengan batu Aceh ialah keanekaragaman bentuk dan seni yang tidak ada pada bentuk batu nisan lainnya.
Apakah itu berbeda dengan yang saya saksikan di sini? Misalnya, banyak orang Tionghoa membuat kuburan mereka dengan batu tertentu?
Itu berbeda sekali. Yang menarik, batu Aceh merupakan tradisi kesenian pada makam yang paling kuno dan yang masih kelihatan sampai sekarang. Mungkin pernah ada kesenian batu nisan lain, tapi dari kayu dan sekarang sudah tidak ada lagi.
Batu Aceh adalah salah satu proyek EFEO untuk penelitian arkeologi di Indonesia dan Dr Daniel Perret adalah direktur EFEO sekarang. Apa itu sebenarnya EFEO?
EFEO kepanjangan dari Ecole Francaise d’Extreme-Orient, yaitu pusat penelitian Timur Jauh Prancis yang didirikan sekitar 100 tahun lalu. Lembaga penelitian ini awalnya di Indo Cina. Lama-kelamaan kami membuka cabang di beberapa negara Asia dan sekarang ada sekitar 15 cabang dari India sampai Jepang, termasuk satu cabang di Jakarta. Lembaga ini bekerja dalam bidang ilmu sosial pada umumnya. Untuk arsitektur, misalnya, EFEO mempunyai cabang di Kamboja di mana beberapa candi sedang dipugar oleh peneliti dari EFEO. Ada juga antropolog, ahli bahasa, ahli sastra, arkeolog, dan sejarawan.
Siapa pendiri EFEO di Jakarta?
Prof Louis Charles Damais pada 1950-an. Damais bekerja sama dengan arkeolog Indonesia di pusat penelitian arkeologi nasional.
Saya melihat ada banyak terbitan buku EFEO. Apa saja terbitan EFEO yang berkaitan dengan Indonesia
Sebenarnya penelitian yang dilakukan tergantung pada peneliti yang bertugas di EFEO. Untuk sementara, ada empat peneliti EFEO di Indonesia, dua orang meneliti sejarah kuno Indonesia dan seorang meneliti sastra, khususnya sastra Melayu. Seorang lagi meneliti sejarah kuno yang dulu melakukan penelitian tentang Kerajaan Sriwijaya dan situs-situs yang berada tidak jauh dari Jakarta, yaitu situs Batu Jaya.
Apa itu situs Batu Jaya?
Batu Jaya adalah situs candi-candi yang dekat Kerawang dan diperkirakan dari sekitar abad awal Masehi. Kalau penelitian saya lebih ke zaman kemudian. Saya baru menyelesaikan program penelitian di daerah Barus, yaitu pantai barat Sumatera Utara. Ini tentang kota kuno di sana. Sekitar tahun 1980-an diketahui ada situs kuno di sekitar Barus dan pada 1995 kami mulai bekerja sama dengan Puspitatenas membuat ekskalasi di sana. Ekskalasi baru selesai tahun lalu (2004). Jadi, selama 11 tahun meneliti di sana dan sudah ada dua buku yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia.
Apakah memang ada kota kuno di sana
Ada. Beberapa situs termasuk situs yang bernama Lubu Tua yang mulai dihuni pada abad IX hingga akhir abad XI dan awal abad XII.
Sebagai sebuah konsep kota, apakah itu bisa dijelaskan secara sosiologi dan antropologi?
Situs ini semacam tempat dagang di mana pedagang asing dari Timur Tengah sampai India datang ke Barus untuk mendapat hasil hutan, khususnya kamper atau kapur barus. Kapur barus itu betul-betul dari pohon kapur dan memang pada zaman itu kamper dicari karena nilainya lebih besar daripada emas. Jadi, pedagang datang dari Timur Tengah khususnya Iran dan juga dari berbagai daerah di India untuk mendapat kamper yang ditukar dengan kain-kain, manik-manik, atau benda yang lain.
Mengapa harus dilakukan ekskalasi? Apa ada suatu bencana sehingga kota itu hilang?
Tidak, ini proses biasa untuk situs pemukiman kuno sebab lama-kelamaan jejak-jejaknya hilang. Itu mungkin karena ada kegiatan tertentu, misalnya pertanian atau rumah ambruk sehingga kami terpaksa membuat penggalian untuk mencari semua lapisan penghunian yang masih dapat ditemukan.
Bagaimana awal keterkaitan Anda dengan sehingga memilih menjadi peneliti arkeologi di Indonesia?
Sebenarnya ini tidak muncul begitu saja. Saya menjadi peneliti setelah melewati satu proses yang tidak langsung. Pertama, saya masuk universitas dan sewaktu akan mengambil master, saya diminta meneliti satu koleksi benda-benda yang dibawa oleh seorang Prancis dari Sumatera Utara. Saya kemudian meneliti koleksi tersebut sehingga mulai meneliti kebudayaan Indonesia. Lama-kelamaan saya merasa sangat tertarik sehingga mendapat Phd di Prancis tentang sejarah Indonesia. Kemudian saya menjadi peneliti di EFEO dan sempat bertugas di Malaysia dan sekarang di Indonesia.
Apa yang paling menarik soal arkeologi di Indonesia yang telah Anda teliti dan mungkin akan Anda teliti?
Yang menarik di sini ialah wilayahnya begitu luas. Penelitian arkeologinya juga belum berkembang karena jumlah peneliti sedikit. Oleh karena itu, masih banyak persoalan yang perlu dipecahkan. Ini suatu keadaan yang berbeda dengan di Prancis karena di sana arkeologi sudah lama berkembang. Saya sulit melakukan penemuan baru karena sulit membuat penelitian yang betul-betul baru. Sebaliknya, di Indonesia boleh dikatakan di mana-mana ada situs yang menarik. Kalau ada kerja sama yang baik dapat dilakukan bersama peneliti di Indonesia, hasilnya akan membuka halaman baru dalam sejarah tanah air.
Sejarah tanah air sudah lama tidak saya dengar. Tetapi ada tiga koleksi buku yang agak penting dalam sejarah Indonesia yang pernah menjadi acuan saya. Buku tersebut tentang sejarah Nusa Bangsa dan Tanah Air ditulis oleh Dennis Lombart. Saya kira sumbangan besar dari para peneliti terutama Dennis Lombart waktu itu membuat kerangka sejarah yang begitu penting.
Menurut Anda, apakah sekarang ada sesuatu yang lebih baru dalam penelitian yang membuat sejarah Indonesia akhirnya mempunyai dasar yang lain dari hasil penelitian sebelumnya terutama arkeologi?
Kalau dilihat dari hasil penelitian arkeologi saja boleh dikatakan jumlah penelitiannya masih belum mencukupi untuk mengubah gambaran tentang sejarah kuno Indonesia. Tapi lama-kelamaan akan ada penemuan baru. Misalnya, penelitian kami di Barus membuktikan bahwa pada abad IX di daerah seperti Barus sudah mengalami globalisasi karena ada hubungan dengan seluruh Asia. Orang dari Timur Tengah, India, dan kemudian Cina datang ke Barus sehingga globalisasi bukan hal baru untuk daerah tersebut.
Apakah Anda dan EFEO akan membuat program memperbanyak peneliti arkeologi di Indonesia?
Ini keputusan dari pemerintah. Kalau ingin menambah jumlah peneliti harus ada tambahan dana juga. Jadi ini bukan keputusan EFEO sendiri, tapi juga keputusan dari Pemerintah Prancis.
14 June 2008
Pansur atau Fansur ada di lembah Bukit Papan Tinggi
Apabila melihat lokasi peninggalan bersejarah di Barus, seperti Tuan Diatas, Tuan Mahligai, Tuan Batu Badan, Tuan Ambar, Tuan Gunung (Palinsir), dll. ditengahnya ada sebuah pancuran yang sangat terkenal hingga saat ini, yaitu Pansur Pananggahan yang berlokasi persis di bawah Bukit Papan Tinggi.
Apabila kita berkunjung atau ziarah ke Tuan Diatas (Tompat) maka akan terlebih dahulu melewati pancuran tersebut. Dengan airnya yang jernih dan sejuk. Setelah turun dari Bukit Papan Tinggi pansur sangat berarti dan penting, untuk memberi kesegaran dan melepas dahaga karena air pansur dapat diminum langsung.
Mata air pansur berasal dari bawah sebuah batu besar kira-kira 100 meter di bawah Makam Papan Tinggi. Mengalir seperti sebuah sungai kecil hingga ke pancuran, Pansur Pananggahan karena terletak di Desa Pananggahan.
Fancur atau pansur tersebut sampai saat ini masih terawat baik. Konon menurut cerita dari orang-orang tua dulu, bahwa Aulia dari Makam Papan Tinggi senaniasa menjaga pansur tersebut dan Raja Batak Sisingamangaraja yang terkenal karena kesaktiannya pernah singgah disana sehingga mandi di pansur tersebut dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan air dari pancuran tersebut dapat diminum tanpa dimasak.
13 June 2008
Festival Indonesia di Teheran Memantapkan Hubungan Indonesia-Iran Sejak Abad ke-7 Masehi
Kehadiran para pedagang Persia di Selat Malaka telah memberikan warna sejarah tersendiri pada masyarakat
Bukti lain dari pengaruh Persia di Indonesia ialah adanya peninggalan-peninggalan aliran Islam Syiah seperti perayaan Tabot di Aceh, Bengkulu, dan Pariaman untuk mengenang Imam Hasan dan Husain. Selain itu, perayaan Asyura atau Suro untuk bulan Muharram saat wafat Imam Husain. Di Jawa dikenal juga dengan perayaan Kasan dan Kusen, atau bulan Asan Usen di Aceh. Di Makassar, perayaan Asyura ditandai dengan suka cita dan pembuatan bubur tujuh warna. Hari Arbain di Jawa Barat pun masih dilakukan dan diikuti ratusan umat Islam Syiah
Pada tanggal 22-27 Juli, 2006, hubungan antara
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Ir. Jero Wacik S.E., mengharapkan terciptanya kontak bisnis antara pelaku usaha pariwisata Indonesia dengan Iran yang dapat memberikan kesejahteraan pada masyarakat luas, selain dikenalnya kebudayaan bangsa Indonesia yang luhung sejak dahulu kala hingga kini di mata masyarakat Iran khususnya, dan dunia pada umumnya.
11 June 2008
Palinsir Situs Berharga yang Hilang
Banyak tempat-tempat peninggalan sejarah di Barus yang akhirnya hilang karena kurangnya perhatian. Sedangkan masyarakat setempat tidak mengetahui seberapa besar manfaat situs tersebut. Salah satunya adalah Palinsir, komplek pemakaman tua di Barus. Nama Palinsir (Tuan Gunung) merupakan nama tempat yang diberikan oleh masyarakat setempat. Masyarakat Barus menyebut makam keramat dengan sebutan "tuan".
Palinsir terletak di Desa Pananggahan, Barus. Sebuah bukit kecil dengan luas 200 m2 jalan masuk ke tempat tersebut berseberangan dengan jalan ke Makam Papan Tinggi (Tuan Diatas). Menurut cerita dari orang tua yang diceritakan secara turun-temurun, Palinsir merupakan sebuah komplek pemakaman pada waktu penyebaran Agama Islam di Nusantara. Banyak menyimpan catatan perkembangan Islam dan Nusantara di masa lalu.
Usaha untuk meneliti sejarah makam tersebut sudah dilakukan. Pada tahun 1980an para ahli sejarah dari Prancis meneliti di tempat tersebut dan kadang-kadang para Mahasiswa dari Universitas Islam di Medan serta pejiarah yang datang dari Malaysia. Tetapi sampai saat ini tidak ada publikasi dari hasil penelitian tersebut dan tidak ada perlindungan dari pemerintah, akibatnya Palinsir kini tinggal kenangan.
Apabila berkunjung kesana, sisa-sisa kejayaan Palinsir kini tinggal batu-batuan bekas nisan yang tidak terawat ditumpuk di bawah pohon ambasang (embacang). Dan dibeberapa tempat di komplek tersebut yang berserakan. (Putra Barus)
Temuan Bersejarah di Barus Raya
"Temuan artefak arkeologis itu kini telah dikumpulkan-sebagian besar telah dianalisis-pada sebuah rumah yang terletak di Pasar Barus," kata arkeolog senior Prof Dr Hasan Muarif Ambary di Jakarta, Selasa (8/10), berkaitan dengan diselenggarakannya seminar internasional tentang "Peranan Barus Raya sebagai Bandar Internasional Abad I-XVII". Seminar dijadwalkan berlangsung 12-15 Oktober 2002 di Bayt Al Quran & Museum Istiqlal di kawasan Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta.
"Mengingat penerbitan hasil penelitian di Barus, baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa asing (Inggris dan Perancis), hanya terbatas pada masyarakat akademis, maka kini sudah saatnya hasil penelitian itu diketahui secara luas oleh masyarakat umum," kata Hasan Muarif Ambary, mantan Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) yang kini bertindak sebagai pengelola Bayt Al Quran & Museum Istiqlal.
Berita tentang eksistensi Barus sebagai bandar niaga, ditandai oleh sebuah peta kuno abad ke-2 yang dibuat oleh Claudius Ptolemaus, seorang gubernur di Kerajaan Yunani yang berpusat di Alexandria, Mesir. Di
Selain pembicara dari dalam negeri (di antaranya Azyumardi Azra, Taufik Abdullah, dan Hasan Muarif Abary), seminar juga menghadirkan pembicara dari luar negeri. Di antaranya, Prof Dr C Guillot dan Prof Dr Ludvick Kalus (Perancis), Dr John N Miksic (Amerika Serikat), dan Prof Dr Nik Hassan Shuhaimi (Brunei Darussalam). (KEN)