Kebun ini berada pada ketinggian sekitar 10 meter dari permukaan laut dengan jarak sekitar 2 kilometer dari pantai. Di bawah tebing, sawah menghampar luas hingga ke tepi Samudra Hindia. Dua sungai besar, yaitu Aek Busuk dan Aek Raja mengapitnya.
Lubang-lubang bekas galian tersebar luas di perkebunan itu. Dasar lubang ditumbuhi semak dan tertutup daun kopi kering. Pada dinding galian lubang seluas rata-rata 4 meter persegi itu terlihat lapisan tanah berpasir. ”Di sini dulu ditemukan banyak peninggalan kuno, mulai keramik seperti piring, teko, juga barang-barang dari emas,” kata Rahima.
Melongok ke lubang galian itu, seakan menyusuri lorong waktu Barus masa lalu. Situs Lobu Tua diperkirakan sisa-sisa kejayaan bandar niaga internasional Barus yang terkenal di seluruh penjuru dunia sejak awal Masehi.
Penggalian tim gabungan dari Ecole francaise d’Extreme-Orient (EFEO) Perancis bekerja sama dengan peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua, Barus, pada 1995-2000, menemukan berbagai artefak yang membuktikan keberadaan peradaban kuno itu. Temuan itu kaya dan beragam. Temuan terbanyak berupa tembikar tanpa glasir.
”Pecahan yang ditemukan begitu banyak sehingga tidak dapat dijumlahkan satu per satu karena kekurangan tenaga manusia,” tulis Claude Gulliot dalam buku Barus Seribu Tahun yang Lalu (2008). Usai ditimbang, setidaknya mencapai 600 kilogram. Gulliot memperkirakan tembikar itu dibuat di India yang dekat Teluk Persia, sebelum abad pertengahan.
Kemakmuran Lobu Tua, menurut arkeolog Perancis, Marie-France Dupoizat, terlihat dari kualitas keramik China yang ditemukan dalam penggalian. Meski Barus terpencil di pesisir barat Sumatera, tempat ini memiliki hubungan maritim dengan daerah-daerah luar yang jauh.
Setidaknya, dari temuan keramik ini, diketahui Barus telah berhubungan dagang dengan daerah di China bagian selatan karena banyak ditemukan tungku-tungku dari Yue (wilayah Zhejiang), keramik berbahan batuan dan porselen dari Guangdong dan Jiangxi. Keramik-keramik ini diperkirakan dari abad ke-9 hingga ke-11.
Luasnya jaringan perdagangan Barus ditandai ditemukannya sekitar 1.000 pecahan tembikar asal Mesopotamia di Timur Tengah dari abad ke-9 hingga abad ke-10.
Juga ditemukan kaca-kaca di Lobu Tua. Kaca ini bisa dipastikan bahan impor karena tim penggali tidak menemukan bekas-bekas tungku kaca di Lobu Tua. Diperkirakan kaca-kaca ini berasal dari Timur Tengah.
Temuan-temuan lain, manik-manik, logam, batu bata, dan mata uang emas. Temuan emas ini menunjukkan selain penghasil kapur barus, kawasan ini juga pengekspor emas. Tak mengherankan karena Barus terletak di Sumatera yang dikenal sebagai ”Pulau Emas.”
Rekaman sejarah
Walaupun temuan arkeologis di Lobu Tua rata-rata berkisar dari abad ke-9 atau ke-10, namun Kota Barus diperkirakan berusia jauh lebih tua. Rekaman dari berbagai catatan kuno menunjukkan, Barus telah dikenal sejak awal abad Masehi. Catatan tertua yang diketahui berasal dari kitab Geographia yang dibuat Claudius Ptolomeus berupa peta abad ke-2, yang menyebut Barus sebagai barousai.
Berdasar buku Nuchbatuddar tulisan Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam sekitar abad ke-7. Makam tua di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, yang pada nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi atau 48 Hijriah, menguatkan ada komunitas Muslim di daerah ini pada era itu.
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia juga memercayai sejak tahun 645 Masehi di daerah Barus telah masuk umat Kristen. Itu didasarkan buku kuno tulisan Shaikh Abu Salih al-Armini. Penjelajah dari Armenia Mabousahl mencatat, abad ke-12 telah terdapat Gereja Nestorian.
Menghilang
Sonny Wibisono, arkeolog dari Puslit Arkenas mengatakan, peradaban di Lobu Tua tiba-tiba menghilang pada abad ke-12. ”Berdasarkan data, tidak ada satu benda arkeologi yang dihasilkan setelah awal abad ke-12,” katanya.
Setelah ditinggalkan komunitas multietnis itu, Barus lalu dihuni orang-orang Batak yang datang dari kawasan sebelah utara kota ini. Situs Bukit Hasang merupakan situs Barus yang berkembang sesudah penghancuran Lobu Tua.
Sampai misi dagang Portugis dan Belanda masuk, peran Barus yang saat itu telah dikuasai raja-raja Batak masih dianggap menonjol sehingga menjadi rebutan kedua penjajah dari Eropa itu. Penjelajah Portugis Tome Pires yang melakukan perjalanan ke Barus awal abad ke-16 mencatat Barus sebagai pelabuhan ramai dan makmur. ”Kami sekarang harus bercerita tentang Kerajaan Barus yang sangat kaya itu, yang juga dinamakan Panchur atau Pansur. Orang Gujarat menamakannya Panchur, juga bangsa Parsi, Arab, Bengali, Keling, dst. Di Sumatera namanya Baros (Barus). Yang dibicarakan ini satu kerajaan, bukan dua,” demikian catatan Pires.
Tahun 1550, Belanda berhasil menghegemoni perdagangan di Barus. Tahun 1618, VOC, kongsi dagang Belanda, mendapat hak istimewa perdagangan dari raja-raja Barus.
Belakangan, hegemoni Belanda ini menyebabkan pedagang dari daerah lain menyingkir. Dan sepak terjang Belanda mulai merugikan penduduk dan raja-raja Barus sehingga memunculkan perselisihan. Tahun 1694, Raja Barus Mudik menyerang kedudukan VOC di Pasar Barus. Banyak korban tewas. Raja Barus Mudik bernama Munawarsyah alias Minuassa lalu ditangkap Belanda, lalu diasingkan ke Singkil, Aceh.
Barus kian tenggelam saat Kerajaan Aceh Darussalam berdiri permulaan abad ke-17. Kerajaan baru itu membangun pelabuhan di pantai timur Sumatera, berhadapan dengan Selat Melaka.
Tamat riwayatnya
Dari berbagai temuan dan rekaman sejarah itu, bisa dipastikan Barus atau Lobu Tua pernah menjadi tempat perdagangan asing dari berbagai penjuru dunia. Namun, menyusuri Barus saat ini, jejak kejayaan itu tak terlihat lagi.
Kota ini kini sangat sepi. Jalan beraspal yang sebagian berlubang seperti tak terurus. Sebagaimana kota-kota tua di pantai barat Sumatera, kejayaan itu telah lama redup.
Dengan kekayaan temuannya itu, ternyata tak mudah mencari tahu sejarah Barus saat kita berada di kota itu. Jangankan museum, peta atau informasi tentang kawasan bersejarah itu pun tiada. Pengunjung hanya akan berhadapan dengan masyarakat yang kebanyakan tak lagi paham dengan sejarah mereka sendiri.
Satu-satunya sumber informasi yang bisa ditemui di Barus adalah sebuah rumah di Pasar Barus yang dijadikan gudang penyimpanan hasil penggalian para peneliti dari EFEO dan Puslit Arkenas beberapa tahun lalu.
Namun, sampai kini rumah tersebut masih tertutup untuk umum dengan alasan barang-barang tersebut masih dalam proses penyelidikan. Hasil penggalian sebagian besar disimpan di sebuah rumah di Pasar Barus, terbungkus kotak dan terpal berdebu.
Pelabuhan Barus yang pernah berjaya pun, kini sangat sepi. Sahren Situmeang (42), nelayan setempat mengatakan, di Barus saat ini hanya ada 100 unit kapal yang beroperasi.
Lima tahun lalu, jumlahnya masih sekitar 200 unit. Riwayat Barus yang pernah jaya tersebut semakin pudar dan menghilang dalam pusaran sejarah.
No comments:
Post a Comment