BARUS menjadi terkenal di seantero jagat ini karena komoditas utamanya, yakni Kapur Barus (champhor) yang berfungsi sebagai bahan medis seperti pembalseman jenazah. Selain Kapur Barus, daerah ini juga sangat terkenal sebagai penghasil kemenyan. Nama Barus sendiri banyak tercatat dalam bahasa asing seperti Yunani, Siria, China, Tamil, Arab, Jawa, Armenia, Melayu dan bahkan dalam bahasa Eropa dalam periode yang lebih muda. Pada sebagian catatan lain, Barus dikenal juga dengan nama Pancur, yaitu alih kata Fansur. Nama ini kemungkinan diadopsi dari penyair mistis Melayu yang terkenal dengan Hamzah al Fansuri.
Barus berada di Pantai Barat Provinsi Sumatera Utara yang berjarak 63 km dari Kota Sibolga, merupakan daerah landai di antara Samudera Indonesia dan Bukit Barisan. Daerah itu dapat ditembuh dari Sibolga dengan jalan darat selama kurang lebih 2 jam. Kondisi jalan masih perlu diperbaiki karena terdapat jalan yang hancur total yang mempersulit jalur transportasi. Sementara itu, jalan dari arah Pakkat, Kabupaten Humbang Hasundutan, menuju Barus sudah hancur total dan terpaksa dilalui oleh bus besar untuk mengangkut hasil bumi. Sementara mobil keluarga, untuk sementara waktu ini disarankan melalui Sibolga untuk mengurangi risiko yang mungkin terjadi.
Terkait potensi daerah itu dan juga banyaknya makam bersejarah di sana, peneliti dari Pusat Studi Sejarah dan IlmuIlmu Sosial Universitas Negeri Medan (PussisUnimed) Erond Damanik bersama rombongan menjelajah ke Barus pada 1819 September 2010.
Erond menyebutkan bila nama Barousai dalam karya Ptolemy, geograf asal Yunani merujuk pada nama Barus sekarang, maka daerah ini telah dikenal sejak abad ke5 sebagai bandar internasional yang memperdagangkan kapur barus dan kemenyan. Tetapi, penelitianpenelitian selama ini belum menemukan buktibukti arkeologis maupun historis yang menandai adanya pemukiman di daerah itu sebelum abad ke11, karena Prasasti Tamil sendiri yang ditemukan di Bukit Hasang Lobutua bertarikh 1088 M. “Hal inilah yang menyebabkan adanya perbedaan di antara penelitipeneliti yang meneliti tentang Barus,” ujarnya.
Sumbersumber tentang Islam di Barus didasarkan pada efigrafi yang tertera pada batu nisan Islam (Islamic Tombstone) yang hingga kini terdapat sekitar 36 batu nisan bertulis di kompleks pekuburan Islam di Barus, disamping dua nisan yang telah disimpan di Museum Sumatera Utara di Medan. Batu nisan itu terletak di enam kompleks pekuburan, yaitu lima kompleks yang sudah diidentifikasi dan satu lagi belum teridentifikasi. Keseluruhan kompleks pemakaman tersebut adalah pekuburan makam Ibrahim. Sedangkan pekuburan belum teridentifikasi adalah pekuburan Papan Tinggi, pekuburan Ambar, pekuburan Maqdum dan pekuburan Mahligai. “Ukuran nisannisannya sangat variatif dan tidak semua terletak pada posisi aslinya karena sering tercabut dan digeser oleh masyarakat,” kata Erond.
Variasi dari batu nisan tersebut sekaligus menunjukkan asal usul dan pengaruh. Namun demikian, asal usul batu nisan tersebut belum dapat dipastikan melainkan hanya kemungkinan yang menunjuk pada kemiripan tertentu. Jika dibandingkan dengan jumlah seluruh nisan yang ada, maka nisan bertulis jumlahnya sangat sedikit dan tulisannya pun tidak terlalu baik, sehingga menyulitkan untuk dibaca.
Erond mengatakan, makam tertua di antara enam pekuburan tua tersebut terdapat di pekuburan Ibrahim yang terletak di simpang jalan menuju pekuburan Papan Tinggi dan Kota Barus dengan tarikh 772 H atau 1370 M yang menggunakan bahasa Arab dan Persia.
Demikian pula di antara enam kompleks pekuburan tersebut, terdapat satu makam yang sering dikunjungi oleh peziarah yang dikenal dengan Makam Papan Tinggi, yang terletak di Desa Pananggahan Kecamatan Barus Utara Kabupaten Tapanuli Tengah. Makam tersebut terletak di atas sebuah bukit dengan ketinggian 215 meter yang dapat dicapai dengan menaiki 705 anak tangga. Di kompleks makam ini terdapat sepasang nisan yang kedua sisi dari masingmasing nisan terdapat tulisan. Jika berada di atas puncak bukit, maka akan tampak panorama yang indah Samudera Indonesia yang berdampingan dengan perbukitan Bukit Barisan yang mengantarai Kota Barus. Pembangunan anak tangga dan pemagaran seluruh kompleks makam di Barus selesai pada tahun 1986 yang diperoleh dari bantuan Pemprovsu.
Dengan merujuk buku “Inskripsi Islam Tertua Di Indonesia (Ludvik Kalus, 2008)”, maupun “Barus Seribu Tahun Yang Lalu (Claude Guillot, 2008)” diketahui makam tersebut adalah makam dari Syekh Mahmud bertarikh 829 H atau 14256 M dengan jarak nisan sekitar 7 meter. Dari segi gaya tulisannya dapat dikenali bahwa bahasa yang digunakan adalah bahasa Arab dan Persia yang dipahat dengan huruf timbul pada batu granit dengan tekstur yang sama. Pada akhir teks bahasa Persia pada salah satu sisi nisan dituliskan: Setiap hari, keajaiban hadir bagi yang meminta pertolongan. Kiranya, dengan teks inilah hingga sekarang, masyarakat sering mengunjungi makam sembari berdoa untuk memohon ‘keajaiban’.
Bagi pengunjung, ketika ditemui berziarah di makam tersebut, mempercayai bahwa dengan berdoa di makam ini akan dapat mendatangkan keajaiban dalam hidupnya.
Sementara menyoal tentang penelitian arkeologi, menurut Erond, telah dilakukan sejak tahun 1970an yang diawali oleh survei oleh Hasan Ambary dari Pusat Arkeologi Nasional pada tahun 70an dan survei yang lebih intensif dilakukan oleh Nurhadi, dkk pada tahun 1988. Penelitian intensif selama 10 tahun dilakukan oleh EFEO Perancis dari tahun 19952005 silam dengan bekerjasama dengan Balai Arkeologi Medan. Hasilhasil penelitian seperti keramik, gerabah, mata uang, dan prasasti telah disimpan sebagian di museum Sumatera Utara di Medan, Museum Nasional Jakarta Maupun di Balai Arkeologi Medan. Nisan Islam masih dapat ditemui di kompleks pemakaman di Barus.
Berdasarkan angka tahun pada nisan Islam yang terdapat di Barus, Pussis menyimpulkan bahwa Islam muncul pada periode belakangan khususnya pada abad ke14, sedang Barus sebagai bandar perdagangan internasional pada abad ke11 yang diperoleh dari Prasasti Tamil. (m15)
Sumber: Waspada online
No comments:
Post a Comment