Kisah
tentang ‘Putri Runduk’ sangat dikenal oleh masyarakat di sepanjang pesisir
barat Sumatera Utara, mulai dari Barus sampai ke Natal, meski dengan versi
masing-masing. D. Edi Saputra, seorang seniman asal Sibolga Tapteng, menuliskan
catatan ‘antara sejarah dan legenda’ kisah putri yang konon sangat cantik ini.
Dari sisi
cerita, Putri Runduk tak kalah menarik dengan cerita lain yang ada di bagian
lain tanah air kita. Ada cerita tentang Kejadian Danau Toba di Tanah Batak,
Malin Kundang dari Minang, Sampuraga dari Mandailing, Putri Hijau dari Melayu
Deli, Roro Jonggrang dari Jawa, Nyi Roro Kidul, dll.
Sebuah
cerita rakyat biasanya dituturkan oleh para orang tua kepada anak dan cucu
mereka. Demikianlah dari waktu ke waktu dari zaman ke zaman, cerita itu
mengalir dan terwarisi oleh generasi berikutnya. Penulisan kisah mengenai
‘Putri Runduk’ ini bermula dari niat Dinas Pariwisata dan Budaya Pemuda dan
Olahraga Kota Sibolga, untuk menggali cerita atau sejarah ”Putri Runduk”, yang
sudah turun temurun didengar dan diperbincangkan. Kisah ini diharapkan menjadi
”sesuatu” yang lebih bernilai dan membuka kemungkinan menjadikannya sebagai
”ikon wisata budaya” kota ini. Meski harus diakui masih cukup jauh langkah dan
upaya menuju apa yang diinginkan, keterbatasan data dan sumber informasi, baik
yang tertulis atau tak tertulis. Selain itu, cakupan wilayah kisah dan cerita
yang sangat luas, menyangkut demografis wilayah lain, selayaknya menjadi
pemikiran untuk dicari kesamaan versi dan alur ceritanya.
Siapakah
sesungguhnya sosok Putri Runduk?
Ditinjau
dari sejarah, referensi tertulis mengenai Putri Runduk tidak banyak. Namun
penulis mengutip tulisan HA Hamid Panggabean, Drs H Afif Lumbantobing dkk,
dalam buku Bunga Rampai Tapian Nauli terbitan tahun 1995.
Dari
halaman 211–213 disebutkan: Sekitar abad ke-7 di kota Kerajaan Barus Raya,
memerintah seorang raja yang cukup ternama. Raja Jayadana (tidak disebutkan
keturunan dari mana ataupun berasal dari negeri mana) namanya. Wilayah kerajaan
ini membawahi daerah yang sudah memasuki era Islam, disebutkan Kota Guguk dan
Koota Beriang, di dekat Kade Gadang (Barus) sekarang ini. Pada masa itu Barus
telah menjadi bandar niaga rempah dan kapur Barus yang terkenal itu.
Layaknya
seorang Raja, maka Raja Jayadana beristerikan (permaisuri, ratu) yang bernama
Putri Runduk (tidak tertulis asal dari mana dan keturunan dari siapa).
“Kecantikan
sang permaisuri sampai ke luar wilayah kerajaan. Dan Barus sebagai bandar niaga
antar wilayah dan kerajaan, ikut menyebarluaskan perihal kecantikan luar biasa
dari sang ratu, Putri Runduk!” tulis HA Hamid Panggabean, Drs H Afif
Lumbantobing dkk, dalam bunga rampai mereka.
Disebutkan,
beberapa raja di luar wilayah Barus, akhirnya berspekulasi merebut Putri Runduk
dari kerajaan Jayadana. Tercatat Raja Janggi dari Sudan-Afrika, dan Raja
Sanjaya dari Kerajaan Mataram. Bahkan seorang Raja dari Cina datang melamar
dengan baik-baik.
Selanjutnya
ditulis, Raja Janggi dan Raja Sanjaya ingin menguasai Barus sebagai bandar
perdagangan dunia pada masa itu, melalui peperangan sekaligus ingin memiliki
sang ratu Putri Runduk.
Demikianlah,
Raja Sanjaya berhasil menewaskan Raja Jayadana dan isterinya Putri Runduk
ditawan, karena menolak lamaran Raja Sanjaya. Masalahnya Raja Sanjaya beragama
Hindu, sedangkan sang putri beragama Islam.
Simaklah pantun berikut ini:
kota guguk kota bariang
ka
tigo kota di muaro
ayam
bakukuk ari siang
puti
runduk ditawan jao
red. kota guguk kota beriang
ke
tiga kota di muara
ayam
berkokok hari siang
putri
runduk ditawan jawa
Ternyata..,inilah kesempatan yang dinanti oleh
Raja Janggi. Mengetahui Putri Runduk telah ditawan oleh Raja Sanjaya, Raja
Janggi dan pasukannya menyerang Raja Sanjaya. Pertempuran kembali terjadi di
Barus, dan Kota Guguk pusat kerajaan Jayadana hancur porakporanda. Raja Janggi
berhasil mempecundangi Raja Sanjaya.
Sekelompok pengawal setia dari sisa kerajaan
Jayadana menyelamatkan ratu mereka Putri Runduk ke Pulau Morsala. Dalam
pelarian inilah, disebutkan berceceran peralatan dan perbekalan yang dibawa
oleh rombongan Putri Runduk, lalu terdampar di pulau-pulau kecil sekitar pulau
Morsala. Dinamailah pulau-pulau itu sesuai barang yang terdampar di situ.
Seperti, Pulau Situngkus, Pulau Lipek Kain, Pulau Tarika, Pulau Puteri, Pulau
Janggi, dll.
Raja Janggi sampai juga di Pulau Morsala.
Ketika hendak menangkap Putri Runduk, sang putri memukulkan tongkat akar bahar
ke kepala Raja Janggi (tidak jelas ditulis, apakah Raja Janggi tewas atau ikut
terjun ke laut mengejar Putri Runduk yang terlebih dulu terjun ke laut karena
putus asa?).
Entah benar atau tidak, dari kejadian itu oleh
masyarakat dikaitkan dengan pantun pesisir sebagai berkut:
pulo puti pulo panginang
ka
tigo pulo anak janggi
lapik
putih bantal bamiang
racun
bamain dalam ati
Setelah peristiwa tragis itu, disebutkanlah
seorang pembantu Putri Runduk, yang tugasnya mengurusi rumah tangga kerajaan,
seorang pemuda anak nelayan miskin bernama ”Sikambang Bandahari.” Pemuda ini
meratap dan menyesali diri, tak mampu membela dan menyelamatkan Putri Runduk.
Ia juga meratapi majikan yang bunuh diri terjun ke laut, menyesali raja-raja
zalim, dan kerajaan yang telah hancur.
Ratapan sedih Sikambang itulah.., yang
akhirnya menjadi ”ratapan legendaris”, yang hari ini kita kenal sebagai lagu
Sikambang..!
Masih
versi sejarah kisah Putri Runduk, dari buku Sejarah Masuknya Islam ke Bandar
Barus Sumatera Utara tulisan Dada Meuraxa (1973) dalam Sub Judul ”LEGENDA ABAD
KE-7 TENTANG PUTRI RUNDUK DI PANTAI FANSUR ” (Hal.29) dan ”PUTRI RUNDUK RATU JAYADANA?” (Hal.31), disebutkan; Di pesisir Tapanuli Tengah di
wilayah Barus tersebut terdapat satu cerita yang paling terkenal di sana yaitu
Putri Runduk seorang ratu yang amat cantik. Rupanya putri itu sudah beragma
Islam dan berkedudukan di Patupangan di tepi Bandar Fansur.
Oleh
kecantikan sang ratu yang luar biasa itu, beberapa raja disebutkan ingin
meminang ratu, antara lain; Pada tahun 732 M Raja Senjaya dari Jawa (Mataram?)
, Raja Cina (tak jelas nama dan silsilahnya), juga Raja Janggi (disebut dari
India, atau Sudan Afrika?).
Raja Cina
berkumpul di Singkuang–Natal, Raja Janggi berkumpul di Lobu Tuo, Raja Senjaya
berhasil menawan Putri Runduk.
Kisah dan
cerita selanjutnya hampir seirama, kecuali tembahan informasi penolakan Putri
Runduk atas pinangan Raja-Raja dari luar itu karena berbeda agama.
Kisah Putri Runduk ada berbagai versi. Ada yang menyebut dia Panglima
tentara laut, keturunan kerajaan Syailendra yang diutus ke wilayah Pantai Barat
dan Barus. Ada yang menyebut, dialah Ratu
Jayadana. Dan konon akhirnya, sang putri sempat lari ke Pulau Morsala,
sendirian bertarung melawan Raja Janggi, hingga ”habis kaji putus ma’rifat”.
Dalam sebuah buku cerita Parahiangan Bahasa Sunda, yang sudah
diselidiki oleh sarjana Pelytes disalin ke bahasa Belanda oleh Prof Dr Purbocoroko; ”di tahun 732 M
Raja Senjaya anak Sena melakukan peperangan dengan Bali, Bima, Melayu, Kemir,
Keling, Cina dan Barus”.
Di Barus, raja waktu itu adalah Ratu Jayadana, yang bila dikaitkan
dengan mitos rakyat Barus, pada ribuan tahun lalu di Barus terdapat satu
kerajaan yang dikuasai seorang ratu bergelar ”Putri Runduk”.
Dari ke-dua buku tersebut, penulis (D. Edi Saputra, Red) mencatat
adanya persamaan dan perbedaan cerita tentang Putri Runduk itu. Di buku ”Bunga
Rampai Tapian Nauli”, dengan jelas disebutkan bahwa Putri Runduk adalah
permaisuri (isteri dari Raja Jayadana). Pertanyaannya adalah: Mungkinkah
seorang isteri raja dilamar atau dipinang oleh raja-raja dari negeri lain? Atau
benarkah raja-raja dari luar itu hanya ingin menguasai Barus yang terkenal
sebagai bandar perniagaan rempah, kemenyan dan kapur Barus? Dan kemudian
menawan sang putri?
Pada buku Sejarah Masuknya Islam ke Bandar Barus Sumatera Utara
ditulis ”Putri Runduk Ratu Jayadana?” tidak tertulis Putri Runduk sebagai
permaisuri Kerajaan Jayadana (tidak tertulis ada seorang raja bernama
Jayadana). Dengan kata lain Putri Runduk adalah seorang Ratu yang berkuasa
ketika itu.
Apabila kemudian banyak raja-raja dari luar yang ingin
mempersuntingnya, kemungkinan itu disebabkan oleh kecantikan putri yang luar
biasa! Namun sang putri menolak semua pinangan raja-raja dari luar itu dengan
alasan yang sangat prinsip yakni perbedaan agama, sang putri sudah memeluk
agama Islam.!
Hal lain yang pantas dicatat; Bahwa Kerajaan Mataram adalah
salahsatu Kerajaan Islam di tanah Jawa. Tidakkah Raja Senjaya telah beragama
Islam ketika itu?
Lepas dari seluruh pertanyaan akan kebenaran fakta sejarah itu,
cerita legenda juga mewarnai kisah Putri Runduk. Dan seperti umumnya legenda,
biasanya selalu diiringi bumbu kata ”boleh percaya boleh tidak !”
Sebagai pengamat, penulis berulangkali telah mendengar kisah Putri
Runduk, terutama dari para orang tua yang pada umumnya berkecimpung dalam dunia
seni dan budaya pesisir. Seperti nama Alm. Buya Farid Panggabean, Alm. Nuh
Kahar (di Pasar Belakang), Alm. Tabrani Marbun (di Pulo Herek Sambas), dan
beberapa nama di Kota Baringin dan Aek Habil, yang menceritakan kisah Putri
Runduk itu.
Dari alur cerita, penulis sangat terkesan dalam beberapa hal
seperti, kekayaan seni dan budaya serta moral cerita yang bernilai tinggi namun
belum tergali secara maksimal.
Kelemahan budaya cerita atau bertutur adalah hilangnya memori,
kurangnya minat dan pengetahuan para orang tua terdahulu untuk
mendokumentasikan cerita dalam bentuk tulisan, mengakibatkan legenda itu hilang
akarnya dari ranah bumi yang melahirkan cerita itu sendiri. Pada tahun 70-an,
penulis sudah membaca buku tulisan Dada Meuraxa, yang memuat cerita rakyat di
Sumatera Utara, termasuk cerita Putri Runduk.
Pada tahun 1993, penulis bersama beberapa seniman dan tokoh
masyarakat seperti Angku Raja Jakfar Hutagalung, Tajuddin Nour, Dachlan Yan
Jamack (Wakil Ketua Dewan Kesenian Sibolga ketika itu), Indra Effendi
(Scorpio), dll. Mencoba menerima tawaran BKKN Tapteng untuk mendokumentasikan
Legenda Putri Runduk dalam bentuk Sinetron. Sayang…, dokumentasi itu rusak
termakan usia.
Beberapa informasi tambahan cerita yang penulis dapatkan, selain
disebut Putri Runduk, konon dia adalah Panglima tentara laut, keturunan
kerajaan Syailendra yang diutus ke wilayah Pantai Barat dan Barus, dalam upaya
mendapatkan kemenyan dan kapur barus.
Oleh raja Barus diberikan wilayah kepada Putri Runduk di sekitar
Barus dan bergelar ”Jayadana”.
Ada pula cerita yang mengatakan,
hubungan antara Putri Runduk dengan Panglima Buyung Sorkam!
Namun masyarakat umumnya mengakui adanya hubungan cerita antara
Putri Runduk dengan Raja Janggi yang ingin mempersuntingnya. Disebutkan,
salahsatu syarat permintaan Putri Runduk yang harus dipenuhi Raja Janggi
adalah, mempersatukan Pulau Situngkus agar merapat ke daratan Pulau Sumatera.
Konon itulah sebabnya terjadi sempalan atau pecahan Pulau Situngkus sekarang
ini.
Dari penelusuran penulis, akhirnya tersebutlah ada 2 panglima
Putri Runduk yang sakti, yakni Panglima Bulu Dare dan Panglima Bulu Songsang.
Setelah kedua panglima ini tewas dibunuh oleh Raja Janggi, sang
putri lari ke Pulau Morsala. Tinggallah Putri Runduk sendiri menghadapi Raja
Janggi. Terjadilah pertarungan tenaga batin, sampai ”habis kaji putus
ma’rifat”. Raja Janggi disumpah ”menjadi batu”, Sang Putri terjun ke laut,
hilang raib tak berbekas!
Dan, peralatan serta perbekalan yang cerai-berai hanyut mengapung
di tengah laut, menjelma menjadi pulau-pulau yang kita kenal sekarang di teluk
tapian nauli.
Demikian pula pantun pesisir yang menceritakan tentang Putri
Runduk dan Raja Janggi, dan Dayang Sikambang yang disebut sebagai inang
pengasuh, dayang dan penari.
Inilah cerita yang dimiliki oleh masyarakat pesisir barat Sumatera
Utara pada umumnya, Tapanuli Tengah dan Sibolga khususnya.
Akhir kata, seiring waktu, diharapkan akan semakin tergali
informasi, data, dan sumber yang lebih akurat tentang sosok seorang Putri
Runduk.
Seni dan budaya adalah bahasa yang universal, maka dalam upaya
pelestariannya siapa saja boleh melakukannya, sebelum warisan senibudaya itu
hilang tak berbekas.
Ibarat mengangkat batang terendam, diperlukan kesungguhan baik
dari tokoh masyarakat, tokoh adat, peneliti dan instansi terkait untuk
melakukan penelusuran yang lebih mendalam, kemudian mendokumentasikannya, agar
generasi berikutnya tidak kehilangan jejak seni dan budaya leluhurnya. (Habis/Penulis
adalah Pensiunan RRI Sibolga- pengamat dan pemerhati masalah seni dan budaya).
Sumber: https://dameambarita.wordpress.com
No comments:
Post a Comment