BARUS SEHARUSNYA JADI CAGAR BUDAYA

30 July 2011

Legenda Tuan Mahligai

Dahulu kala di Barus, sebagai sebuah kota mandiri yang cukup maju sudah dilengkapi dengan lembaga pendidikan. Mendengar bahwa di Barus sudah ada lembaga pendidikan, mendorong para orang dari pedalaman Batak untuk menyekolahkan anaknya ke Barus.
Tersebutlah sebuah keluarga memasukkan anaknya si Mahligai sekolah di Barus dengan harapan kelak si anak tersebut menjadi anak yang pintar, berilmu dan berbudi luhur. Lalu dengan menempuh perjalanan yang sangat berat si Mahligai diantarkan ke Barus. Tentu pada waktu itu belum ada alat transportasi seperti saat ini.
Dengan tekun si Mahligai belajar di sekolahnya. Hari-hari berlalu, apa daya si Mahligai tetap saja bodoh, tidak ada pelajaran dari guru yang melekat di otaknya. Segala daya upaya telah dilakukan sang guru agar si Mahligai bisa menyerap pelajaran yang diberikan, akan tetapi tetap sia-sia karena si Mahligai tidak dapat menerima pelajaran yang diberikan.
Disuatu malam yang dingin untuk menghangatkan badan, si Mahligai menyalakan api. Sambil menunggu api yang menyala, si Mahligai membakar biji "cebadak" (nangka). Si Mahligai memasukkan batu cebadak berjumlah 10 buah kedalam api. Setelah diperkirakan sudah matang, lalu batu cebadak tersebut dikeluarkan dari api. Akan tetapi batu cebadak tidak lagi berjumlah 10 karena satu batu cebadak sudah gosong terbakar. Si Mahligaipun mencari batu cebadak tersebut tetapi tidak ketemu. Sambil memasukkan batu cebadak yang berjumlah 9 tersebut kedalam sarungnya, si Mahligai berpikir, sambil berpikir dari mulutnya terucap, "Kupanggang batu cebadak sepuluh, hilang sabuah tinggal sambilan, lahilallah illallah".
Si Mahligai sangat senang karena merasa dia sudah bisa berhitung dan kejadian tersebut terus-menerus dia ucapkan dengan muka yang berseri-seri. Besok paginya dia menemui gurunya dan mengatakan kalau dia sudah bisa berhitung. "Kupanggang batu cebadak sepuluh, hilang sabuah tinggal sambilan, lahilallah illallah". Sang guru hanya bisa menerutkan kening, karena si Mahligai hanya menguasai perhitungan tersebut, yang lainnya tidak.
Untuk menyempurnakan ilmu yang telah didapat di bangku sekolah, suatu ketika sekolah akan melaksanakan naik haji ke Mekkah. Seluruh murid akan di ikut sertakan. Tetapi bagaimana dengan si Mahligai? Takut mendapatkan malu karena ada muridnya yang sangat bodoh, maka sang guru tidak mengikut sertakan si Mahligai dalam program tersebut.
Dengan naik kapal laut, rombonganpun berangkat menuju Mekah. Si Mahligai sangat sedih karena tidak diikutkan. Dalam kesedihannya si Mahligai pergi ke hutan. Disana dia melihat sebuah semak yang daunnya mirip perahu apabila dibalik, namanya "sungkit". Si Mahligai berpikir, mungkin daun ini bisa menjadi perahu. Si Mahligai mengambil daun tersebut dan membawanya ke laut lalu di naik ke atas daun tersebut lalu kain sarungnya dibentangkan menjadi layarnya. Tiba-tiba perahu tersebut berlayar menuju lautan yang luas.
Perahu terdampar di daerah yang tidak diketahui oleh si Mahligai, lalu diapun keluar perahunya. Di daerah tersebut dia hidup menyendiri sambil memperhatikan orang-orang disana. Beberapa hari kemudian rombongan dari sekolahnyapun tiba. Lalu dia menyalami gurunya dan teman-temannya. Sang gurupun heran, bagaimana kamu bisa duluan tiba disini? Si Mahligai lalu menceritakan kejadian ajaib yang dia alami. Lalu sang guru berkata, "O..., berarti kapal besar yang mendahulai kapal kami di tengah lautan itu adalah kamu". Ternyata daun sungkitnya si Mahligai dilihat oleh guru dan teman-temannya sebagai sebuah kapal besar. Merekapun terharu dan saling berangkulan dan sang gurupun minta ma'af kepada si Mahligai.
Sepulang dari Mekkah, si Mahligaipun diikutsertakan dan diperlakukan sama dengan murid lainnya. Beberapa waktu kemudian tersiar kabar bahwa Mekkah terbakar. Si Mahligai memadamkan api di Mekkah dengan menyiram api dari Barus.

Itulah asal-usul makam Mahligai di Barus yang diceritakan secara turun-temurun. Konon katanya si Mahligai tersebut berasal dari Balige sehingga makam Mahligai sering juga disebut sebagai Tuan Balige.

No comments:

Post a Comment