BARUS SEHARUSNYA JADI CAGAR BUDAYA

26 September 2011

Legenda Putri Runduk

Pada sekitar abad ke-7 di Kerajaan Barus Raya memerintahlah seorang raja yang cukup ternama, Raja Jayadana. Kerajaan yang dibawahinya memasuki era Islam berpusat di Kota Guguk dan Kota Beriang dekat Kadai Gadang sekarang. Kerajaan Barus tengah berada di puncak kejayaannya, berkat hasil bumi yang melimpah ruah dan penghasil komoditi langka yang sangat dibutuhkan pada zamannya. Sebutlah itu kapur barus. Barus Raya terdapat pelabuhan tertua di dunia yang menjadi salah satu pusat niaga internasional.

24 September 2011

Umat Katolik Tertua Di Indonesia

Umat Katolik Perintis di Indonesia: 645 - 1500
Agama Katolik untuk pertama kalinya masuk ke Indonesia pada bagian pertama abad ketujuh di Sumatera Utara. Fakta ini ditegaskan kembali oleh (Alm) Prof. Dr. Sucipto Wirjosuprapto. Untuk mengerti fakta ini perlulah penelitian dan rentetan berita dan kesaksian yang tersebar dalam jangka waktu dan tempat yang lebih luas. Berita tersebut dapat dibaca dalam sejarah kuno karangan seorang ahli sejarah Shaykh Abu Salih al-Armini yang menulis buku "Daftar berita-berita tentang Gereja-gereja dan pertapaan dari provinsi Mesir dan tanah-tanah di luarnya". yang memuat berita tentang 707 gereja dan 181 pertapaan Serani yang tersebar di Mesir, Nubia, Abbessinia, Afrika Barat, Spanyol, Arabia, India dan Indonesia.

Peranan Barus Dalam Sejarah Batak

BICARA tentang "Batak" sebagai identitas etnik, memang cukup kompleks. Dari asal-usul penyebutan kata "Batak" saja, sudah beragam serta sering menuai kontroversi. Hampir secara umum, menyebutkan, kata "Batak" merupakan stereotif negatif yang dilabelkan oleh orang non "Batak" terhadap sebuah kelompok masyarakat yang berdiam di tempat tertentu.

Dr. H.N. van der Tuuk (1824-1894) misalnya. Dalam setiap tulisannya, dia cenderung mengartikan "Batak" sebagai masyarakat komunal yang barbar. Tendensi yang dikesankan van der Tuuk, bagaimanapun tak lepas dari tujuannya sebagai misioner-kebudayaan.

13 September 2011

Menjenguk Pesanggrahan Ompu Raja Uti di Barus

Tidak jauh dari Simpang Tiga Bukit Desa Patupangan, menuju Kota Barus, terdapat pesanggrahan Raja Uti. Di Barus ia dikenal sebagai Raja Hatorusan yang memimpin sampai beberapa dinasti. Raja Uti dalam mitologi penciptaan masyarakat Batak adalah putra sulung Guru Tatea Bulan, anak dari Raja Batak.
Pesanggrahan Raja Uti di Barus

Dalam kosmologi Batak (Toba) Raja Uti dikenal sebagai sosok sakti, yang perannya berfungsi sebagai pengantara manusia dengan Mulajadi Nabolon (Sang Pencipta). Secara lengkap, arketip Raja Uti beserta orangtua dan saudara-saudaranya ada di kaki Gunung Pusuk Buhit, Sianjurmulamula, Samosir. Pusuk Buhit sendiri oleh masyarakat Batak tradisional, dianggap sebagai kiblat spiritual masyarakat Batak.
Jadi, jika Barus merupakan sumber peradaban, Pusuk Buhit adalah muasal spiritual bagi orang Batak. Kehadiran Raja Uti di kedua tempat ini, seperti menyempurnakan keduanya. Sekedar catatan, profil Raja Uti termasuk banyak disebut oleh masyarakat di berbagai tempat di Sumatera Utara, terutama yang ada jejaknya dengan historis Batak. Selain Barus, Pusuk Buhit dan di sejumlah wilayah di daratan Batak. Konon Raja Uti juga disebut dalam literatur sejarah Aceh dan dianggap sebagai leluhur orang Batak di Tanah Rencong.
Masyarakat Batak meyakini Raja Uti mampu menjelma menjadi 7 rupa. Ketujuhnya terlihat jelas di pesanggerahan yang ada di Pusuk Buhit. Tak heran jika ada 7 penyebutan pula yang diberikan untuknya, yakni; Ompu Raja Uti, Ompu Raja Pusuk Buhit, Ompu Raja Gumelleng-gelleng, Ompu Raja Biak-biak, Ompu Raja Parhata, Ompu Raja Hasaktian dan Ompu Raja Hatorusan.


Patung Raja Uti dengan 7 Rupa
Tetapi yang terpenting, bagi Parmalim, Raja Uti tak sekedar leluhur orang Batak. Bagi Parmalim, Raja Uti adalah muara spiritual mereka. Raja Uti merupakan sosok suci, sang peletak dasar kebatakan, Raja Hatorusan, raja yang tak penah mati dan perantara manusia kepada Mulajadi Nabolon. Menurut Sitor Situmorang, dalam Toba Na Sae, Raja Uti, terlahir tak sempurna: tanpa tangan dan kaki. Orangtuanya mengasuh ia secara sembunyi-sembunyi di salahsatu gua di lereng Gunung Pusuk Buhit. Baru, ketika Mulajadi Na Bolon, menyempurnakan fisiknya, Raja Uti kemudian pergi ke barat, yang diistilahkan sebagai tempat matahari terbenam (hasundutan) yakni Barus. Konon di sana ia membuka perkampungan di hilir Barus, yang kelak berkembang menjadi kerajaan. Di situ ia lebih dikenal sebagai Raja Hatorusan. Ia pun memerintah di sana untuk beberapa dinasti.
Dikisahkan, bahwa Sisingamangaraja I, harus menempuh perjalanan jauh dari Bakkara menuju Barus guna menemui Raja Uti yang adalah hula-hula (tulang-paman)nya sendiri. Seperti diketahui, dalam genealogis Batak, Raja Uti adalah putra Guru Tatea Bulan. Guru Tatea Bulan sendiri anak sulung dari Raja Batak. Adik Guru Tatea Bulan adalah Raja Isumbaon. Karena situasi, ada kebiasaan, bahwa keturunan Raja Isumbaon selalu memperistri anak perempuan dari keturunan Guru Tatea Bulan. Ini mengakibatkan pihak Raja Isumbaon menjadi pihak parboru bagi pihak Guru Tatea Bulan yang menjadi hula-hula. Dalam konsep Dalihan Na Talu, parboru wajib menghormati pihak hula-hula dan biasanya selalu akan memohon berkat kepada hula-hulanya itu, jika hendak melakukan sesuatu pekerjaan besar. Demikian, kebiasaan ini diteruskan sampai pada Sisingamangaraja I yang merupakan keturunan Raja Isumbaon. Mendengar kabar, bahwa ada seorang pamannya yang sakti, bernama Raja Uti, yang bermukim di Barus, ia langsung menuju kesana. Setelah menghadapi berbagai rintangan ia pun berhasil menjumpai pamannya itu. Oleh Raja Uti, Sisingamangaraja I diberi pusaka, berupa Piso Gaja Dompak, yang menjadi semacam regalia untuk mendirikan dinasti kerajaan. Konon yang memiliki Piso Gaja Dompak, layak untuk diangkat menjadi raja.

Raja Na 44
Dalam konsep religiusitas Parmalim ada dikenal sebutan Raja Na Opat Puluh Opat. Biasa ditulis Raja 44. Raja 44 bagi Parmalim adalah para malim (suci) yang menebarkan jalan kebaikan bagi masyarakat di dunia. Menurut Raja Marnangkok Naipospos, dalam satu diskusi dengan penulis, Raja 44 tak terbatas dengan orang di lingkungan Parmalim, tetapi siapapun yang dianggap membawa kemaliman (kesucian) bahkan yang dari kalangan Islam sekalipun. Konsep Raja 44 bersumber dari kosmologi Parmalim yang menyebut bahwa bumi (banua tonga) disanggah oleh 4 sudut dari atas (banua ginjang) dan 4 sudut (banua toru). Dengan begitu proses kehidupan bumi (banua tonga) mirip konsep yin-yan. Menurut Parmalim, para Raja 44 inilah yang berperan dalam menjaga keseimbangan kehidupan itu. Namun dalam upacara keagamaan Parmalim, Raja 44 tak diuraikan satu persatu namaya, tetapi cukup disebut secara kelembagaan saja. Dalam tonggo-tonggo (doa) Parmalim setidaknya disebutkan beberapa nama, yakni: Raja Uti, Si Boru Deak Parujar, Si Boru Saniang Naga, Raja Sisingamangaraja, Raja Nasiakbagi dan Raja Na 44.
Menurut keyakinan Parmalim, Raja Uti adalah pewaris “harajaon” (kerajaan) Batak yang diberikan oleh Mulajadi Nabolon (sang pencipta).

Sumber: http://www.medanbisnisdaily.com

09 September 2011

Wisatawan Malaysia Sering Berkunjung Ke Makam Mahligai

Zairuddin Pasaribu (kiri) penjaga makam menjelaskan mengenai makam Mahligai merupakan perkuburan bersejarah yang menandakan masuknya agama Islam pertama ke Indonesia pada Abad ke VII Masehi di Desa Aek Dakka, Kec. Barus, Kab. Tapanuli Tengah, Sumut, Senin (10/5).
Medan, 23/5 (ANTARA) – Para wisatawan asal Negara Malaysia sering berkunjung ke Makam Mahligai dan Papan Tinggi di Kecamatan Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.

Seorang warga Barus, Iswandi Purba (64), Senin mengatakan, kunjungan wisatawan Malaysia itu dilakukan untuk melihat secara langsung situs yang memiliki nilai sejarah cukup tinggi yang terdapat di daerah itu.

Menurut Barus, selain kedatangan wisatwan dari luar negeri itu, juga wisatawan nusantara dari Yogyakarta, Bandung, Makassar, Sumbar, Medan dan beberepa daerah lainnya.

Kunjungan wisatawan tersebut, menurut dia, jelas membuktikan bahwa Kota Tua Barus ini sudah cukup dikenal memiliki dan menyimpan situs bersejarah dan merupakan masuknya Agama Islam yang pertama di Indonesia.

Oleh karena itu, katanya, Kota Tua Barus itu perlu mendapat perhatian yang cukup besar oleh Pemerintah Pusat, dengan membangun sarana berupa insfrastruktur jalan yang sudah mengalami kerusakan cukup parah.

“Kerusakan Jalan dari Kecamatan Sorkam menuju Kota Barus benar-benar luar biasa.Jalan penuh lobang dan bila hujan, kenderaan truk, mobil pribadi yang melintas di lokasi tersebut sering terperosok, dan mangancam keselamatan bagi pengemudi roda empat tersebut,” kata Purba.

Menurut dia, beberapa bulan lalu, ada beberapa wisatawan Malaysia dan juga mahasiswa yang berkunjung ke lokasi Makam Mahligai mengeluhkan kerusakan jalan menuju Kota Barus itu.

Sebab, katanya, jalan menuju Kota Barus ini, bukan hanya berlobang-lobang, tetapi juga dapat membuat pengemudi mobil yang tidak hati-hati atau berpengalaman akan terbalik di tengah jalan.

“Jika jalan menuju Kota Tua Barus ini, sudah diperbaiki atau mulus, maka wisatawan dari berbagai negara akan mudah berkunjung untuk melihat makam-makam bersejarah yang terdapat di kota tersebut,” ucap Purba.

Selanjutnya, dia mengharapkan kepada pemerintah agar di lokasi tempat-tempat makam bersejarah itu dapat dibangun tempat-tempat istirahat atau berteduh, sehingga tamu-tamu yang berkunjung ke lokasi itu tidak kepanasan dan merasa betah.

“Kendala yang selama ini dihadapi wisatawan bila berkunjung ke makam tersebut itu, tidak adanya tempat peristirahatan yang memadai, sehingga bila mereka capek tidak bisa istirahat.Jadi sebahagian tamu-tamu itu
pikir-pikir untuk naik ke puncak bukit tersebut,” kata Purba.

Pedagang dari Arab
Salah seorang warga Barus, J Manullang (55) mengatakan, kedatangan Syekh dari Arab Saudi ke Kota Tua Barus awal mulanya hanya berdagang.

Selain itu, jelasnya, orang Arab tersebut juga bertujuan untuk mengembangkan ajaran Agama Islam di daerah Barus.

Di makam mahligai tersebut, menurut dia, juga terdapat makam Syekh Imam Khotil Muazamsyah Biktibai, Syekh Samsuddin Min Biladil Fansuri, Syekh Zainal Abidin, Syekh Ilyas, Syekh Samsuddin dan makam-makam lainnya.

Dia mengatakan, warga Barus lebih mengenal makam mahligai dan makam lainnya dengan sebutan makam “Aulia 44″ (empat puluh empat).

Tulisan kecil yang terdapat pada batu nisan makam mahligai beraksara Arab berisikan potongan ayat suci dalam Al Quran sering dianggap sebagai tempat yang memiliki nilai religius tinggi.

“Masyarakat dari Medan, Jakarta, Bandung dan Malaysia, Brunai Darussalam sering berkunjung ke makam mahligai tersebut,” kata Manullang.
Jalan nasional rusak
Sebelumnya, Kepala Balai Besar Jalan Wilayah Sumatera I, Wijaya Seta mengatakan, 750 kilometer lebih jalan nasional di Sumatera Utara rusak dengan tingkat kerusakan sedang hingga parah.

“Sekitar 33 persen (rusak) dari 2.281 kilometer jalan nasional yang ada di Sumut,” kata Wijaya Seta di Medan.
Dalam tiga bulan terakhir, kata dia, pihaknya telah memantau kondisi jalan nasional di Sumut berdasarkan arahan Direktorat Jenderal (Ditjen) Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum (PU).

Dari pemantauan itu, sekitar 67 persen jalan nasional di Sumut dapat disebut mantap atau dalam kondisi cukup baik dan layak digunakan.

Sedangkan 33 persen dalam kondisi rusak.”Jadi, kurang mantap,”katanya.***4***

08 September 2011

Fasilitas Umum di Barus Rusak karena Gempa

MEDAN (EKSPOSnews): Sejumlah fasiliats umum di Desa Ujung Batu, Kecamatan Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, mengalami retak-retak akibat gempa berkekuatan 6,7 Scala Richter yang mengguncang Singkil, Provinsi Aceh, pada Selasa (6/9) sekitar pukul 00.55 WIB.

Humas Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tapanuli Tengah (Tapteng) Jamaluddin Marpaung yang dihubungi dari Medan, Rabu 7 September 2011 mengatakan, kerusakan akibat gempa tersebut, tidak hanya terjadi pada masjid, tetapi juga gereja, bangunan sekolah, rumah penduduk serta sarana dan prasarana lainnya.

Gereja yang mengalami kerusakan itu, menurut dia, terdapat di Desa Aek Dakka. Nama gereja itu adalah HKBP dan berada di lereng bukit Kecamatan Barus atau sekitar 415 Km arah barat Kota Medan.

"Dinding pagar Gereja HKBP jebol dan sebahagian goyang, tanah di sekitar gereja retak-retak, dikhawatirkan akan mengancam keselamatan para jemaat gereja," kata Jamaluddin.

Begitu juga Masjid Al Hidayah mengalami retak-retak.

Selain itu, kata dia, kerusakan lainnya adalah tiga gedung sekolah retak-retak, yakni SDN Negeri 1 dan 2 Perguruan Tribukit dan tiga unit rumah masyarakat juga mengalami retak-retak.

"Kerusakan sekolah dan rumah masyarakat itu, seluruhnya berada di Desa Hasang, Kecamatan Barus," ujarnya.

Kemudian kerusakan lainnya, yakni satu rumah penduduk retak-retak di Desa Kinali, menara bagian atas Mushalla Al-Munawar di Desa Kampung Solok patah dan retak-retak.

Teras luar Sekolah MAN di Kelurahan Padang Masiang ambruk, pagar rumah milik MH Nainggolan ambruk dan SDN Padang Masiang retak-retak.

Mengenai kerugian akibat gempa yang terjadi di Kecamatan Barus, sampai saat ini belum dapat diketahui dan masing sedang didata petugas yang menangani masalah gempa itu.

"Warga Kecamatan Barus juga masih trauma dan ketakutan akibat gempa di Singkil, Aceh, yang meluas hingga ke Kabupaten Tapteng," katanya.

Berkekuatan 6,7 SR Gempa berkekuatan 6,7 Scala Richter (SR) terjadi di kawasan Singkil Baru, Provinsi Aceh, Selasa sekitar pukul 00.55 WIB.

"Tepatnya pukul 00.00 WIB lebih 12 detik," kata Kepala Bidang Pelayanan Data dan Informasi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Wilayah I Medan Hendra Suwarta ketika dihubungi ANTARA Medan, Selasa dinihari.

Menurut Hendra, gempa tersebut berpusat di 2,81 lintang utara dan 97,85 bujur timur atau berada 59 Km di timur laut Singkil, Aceh.

Berdasarkan data yang didapatkan BMKG Wilayah I Medan, gempa tersebut terjadi di kedalaman 78 Km.

Gempa berkekuatan 6,7 SR tersebut terasa hingga ke Kota Medan dan beberapa daerah di Kabupaten Deli Serdang.

"Namun tidak terlalu terasa, hanya sekitar dua atau tiga MMI," katanya.

Meski berkekuatan hingga 6,7 SR, BMKG Wilayah I Medan memperkirakan gempa tersebut tidak berpotensi menimbulkan tsunami.(an)

05 September 2011

Tahukah Anda: Islam Masuk ke Nusantara Saat Rasulullah SAW Masih Hidup

Islam masuk ke Nusantara dibawa para pedagang dari Gujarat, India, di abad ke 14 Masehi. Teori masuknya Islam ke Nusantara dari Gujarat ini disebut juga sebagai Teori Gujarat. Demikian menurut buku-buku sejarah yang sampai sekarang masih menjadi buku pegangan bagi para pelajar kita, dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas, bahkan di beberapa perguruan tinggi.

Namun, tahukah Anda bahwa Teori Gujarat ini berasal dari seorang orientalis asal Belanda yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk menghancurkan Islam? Orientalis ini bernama Snouck Hurgronje, yang demi mencapai tujuannya, ia mempelajari bahasa Arab dengan sangat giat, mengaku sebagai seorang Muslim, dan bahkan mengawini seorang Muslimah, anak seorang tokoh di zamannya.

Menurut sejumlah pakar sejarah dan juga arkeolog, jauh sebelum Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, telah terjadi kontak dagang antara para pedagang Cina, Nusantara, dan Arab. Jalur perdagangan selatan ini sudah ramai saat itu.

Mengutip buku Gerilya Salib di Serambi Makkah (Rizki Ridyasmara, Pustaka Alkautsar, 2006) yang banyak memaparkan bukti-bukti sejarah soal masuknya Islam di Nusantara, Peter Bellwood, Reader in Archaeology di Australia National University, telah melakukan banyak penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara.

Bellwood menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad kelima masehi, yang berarti Nabi Muhammad SAW belum lahir, beberapa jalur perdagangan utama telah berkembang menghubungkan kepulauan Nusantara dengan Cina. Temuan beberapa tembikar Cina serta benda-benda perunggu dari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di selatan Sumatera dan di Jawa Timur membuktikan hal ini.

Dalam catatan kakinya Bellwood menulis, “Museum Nasional di Jakarta memiliki beberapa bejana keramik dari beberapa situs di Sumatera Utara. Selain itu, banyak barang perunggu Cina, yang beberapa di antaranya mungkin bertarikh akhir masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi pribadi di London. Benda-benda ini dilaporkan berasal dari kuburan di Lumajang, Jawa Timur, yang sudah sering dijarah…” Bellwood dengan ini hendak menyatakan bahwa sebelum tahun 221 SM, para pedagang pribumi diketahui telah melakukan hubungan dagang dengan para pedagang dari Cina.

Masih menurutnya, perdagangan pada zaman itu di Nusantara dilakukan antar sesama pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang dimaksudkan kerajaan adalah pemerintahan dengan raja dan memiliki wilayah yang luas. Sebab kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di selatan Sumatera baru didirikan pada tahun 607 Masehi (Wolters 1967; Hall 1967, 1985). Tapi bisa saja terjadi, “kerajaan-kerajaan kecil” yang tersebar di beberapa pesisir pantai sudah berdiri, walau yang terakhir ini tidak dijumpai catatannya.

Di Jawa, masa sebelum masehi juga tidak ada catatan tertulisnya. Pangeran Aji Saka sendiri baru “diketahui” memulai sistem penulisan huruf Jawi kuno berdasarkan pada tipologi huruf Hindustan pada masa antara 0 sampai 100 Masehi. Dalam periode ini di Kalimantan telah berdiri Kerajaan Hindu Kutai dan Kerajaan Langasuka di Kedah, Malaya. Tarumanegara di Jawa Barat baru berdiri tahun 400-an Masehi. Di Sumatera, agama Budha baru menyebar pada tahun 425 Masehi dan mencapai kejayaan pada masa Kerajaan Sriwijaya.

Temuan G. R Tibbets

Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara—terutama Sumatera dan Jawa—dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G. R. Tibbetts. Bahkan Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yang terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara saat itu.

“Keadaan ini terjadi karena kepulauan Nusantara telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina sejak abad kelima Masehi, ” tulis Tibbets. Jadi peta perdagangan saat itu terutama di selatan adalah Arab-Nusantara-China.

Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya.

Di perkampungan-perkampungan ini, orang-orang Arab bermukim dan telah melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan menikahi perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah beranak–pinak di sana. Dari perkampungan-perkampungan ini mulai didirikan tempat-tempat pengajian al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal bakal madrasah dan pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah (masjid).

Temuan ini diperkuat Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah menemukan satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air. HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika.

Pembalseman Firaun Ramses II Pakai Kapur Barus Dari Nusantara


Dari berbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islam di daerah pesisir Barat Pulau Sumatera itu bernama Barus atau yang juga disebut Fansur. Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan. Di zaman Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun ketika Sriwijaya mengalami kemunduran dan digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam, Barus pun masuk dalam wilayah Aceh.

Amat mungkin Barus merupakan kota tertua di Indonesia mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak awal Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria, Armenia, China, dan sebagainya.

Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada abad ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus.

Bahkan dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi!

Berdasakan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-7 Masehi. Sebuah makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi. Ini memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus sudah ada pada era itu.

Sebuah Tim Arkeolog yang berasal dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis yang bekerjasama dengan peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, telah menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya.

Tim tersebut menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur.

Di Barus dan sekitarnya, banyak pedagang Islam yang terdiri dari orang Arab, Aceh, dan sebagainya hidup dengan berkecukupan. Mereka memiliki kedudukan baik dan pengaruh cukup besar di dalam masyarakat maupun pemerintah (Kerajaan Budha Sriwijaya). Bahkan kemudian ada juga yang ikut berkuasa di sejumlah bandar. Mereka banyak yang bersahabat, juga berkeluarga dengan raja, adipati, atau pembesar-pembesar Sriwijaya lainnya. Mereka sering pula menjadi penasehat raja, adipati, atau penguasa setempat. Makin lama makin banyak pula penduduk setempat yang memeluk Islam. Bahkan ada pula raja, adipati, atau penguasa setempat yang akhirnya masuk Islam. Tentunya dengan jalan damai.

Sejarahwan T. W. Arnold dalam karyanya “The Preaching of Islam” (1968) juga menguatkan temuan bahwa agama Islam telah dibawa oleh mubaligh-mubaligh Islam asal jazirah Arab ke Nusantara sejak awal abad ke-7 M.

Setelah abad ke-7 M, Islam mulai berkembang di kawasan ini, misal, menurut laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang duta Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) diketahui telah mengunjungi negeri Tiongkok mewakili sebuah negeri di Nusantara (F. Hirth dan W. W. Rockhill (terj), Chau Ju Kua, His Work On Chinese and Arab Trade in XII Centuries, St.Petersburg: Paragon Book, 1966, hal. 159).

Bukti lainnya, di daerah Leran, Gresik, Jawa Timur, sebuah batu nisan kepunyaan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun bertanggal tahun 1082 telah ditemukan. Penemuan ini membuktikan bahwa Islam telah merambah Jawa Timur di abad ke-11 M (S. Q. Fatini, Islam Comes to Malaysia, Singapura: M. S. R.I., 1963, hal. 39).

Dari bukti-bukti di atas, dapat dipastikan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara pada masa Rasulullah masih hidup. Secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut: Rasululah menerima wahyu pertama di tahun 610 M, dua setengah tahun kemudian menerima wahyu kedua (kuartal pertama tahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya berdakwah secara diam-diam—periode Arqam bin Abil Arqam (sampai sekitar kuartal pertama tahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah secara terbuka dari Makkah ke seluruh Jazirah Arab.

Menurut literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (Barus). Jadi hanya 9 tahun sejak Rasulullah SAW memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah terdapat sebuah perkampungan Islam.

Selaras dengan zamannya, saat itu umat Islam belum memiliki mushaf Al-Qur’an, karena mushaf Al-Qur’an baru selesai dibukukan pada zaman Khalif Utsman bin Affan pada tahun 30 H atau 651 M. Naskah Qur’an pertama kali hanya dibuat tujuh buah yang kemudian oleh Khalif Utsman dikirim ke pusat-pusat kekuasaan kaum Muslimin yang dipandang penting yakni (1) Makkah, (2) Damaskus, (3) San’a di Yaman, (4) Bahrain, (5) Basrah, (6) Kuffah, dan (7) yang terakhir dipegang sendiri oleh Khalif Utsman.

Naskah Qur’an yang tujuh itu dibubuhi cap kekhalifahan dan menjadi dasar bagi semua pihak yang berkeinginan menulis ulang. Naskah-naskah tua dari zaman Khalifah Utsman bin Affan itu masih bisa dijumpai dan tersimpan pada berbagai museum dunia. Sebuah di antaranya tersimpan pada Museum di Tashkent, Asia Tengah.

Mengingat bekas-bekas darah pada lembaran-lembaran naskah tua itu maka pihak-pihak kepurbakalaan memastikan bahwa naskah Qur’an itu merupakan al-Mushaf yang tengah dibaca Khalif Utsman sewaktu mendadak kaum perusuh di Ibukota menyerbu gedung kediamannya dan membunuh sang Khalifah.

Perjanjian Versailes (Versailes Treaty), yaitu perjanjian damai yang diikat pihak Sekutu dengan Jerman pada akhir Perang Dunia I, di dalam pasal 246 mencantumkan sebuah ketentuan mengenai naskah tua peninggalan Khalifah Ustman bin Affan itu yang berbunyi: (246) Di dalam tempo enam bulan sesudah Perjanjian sekarang ini memperoleh kekuatannya, pihak Jerman menyerahkan kepada Yang Mulia Raja Hejaz naskah asli Al-Qur’an dari masa Khalif Utsman, yang diangkut dari Madinah oleh pembesar-pembesar Turki, dan menurut keterangan, telah dihadiahkan kepada bekas Kaisar William II (Joesoef Sou’yb, Sejarah Khulafaur Rasyidin, Bulan Bintang, cet. 1, 1979, hal. 390-391).

Sebab itu, cara berdoa dan beribadah lainnya pada saat itu diyakini berdasarkan ingatan para pedagang Arab Islam yang juga termasuk para al-Huffadz atau penghapal al-Qur’an.

Menengok catatan sejarah, pada seperempat abad ke-7 M, kerajaan Budha Sriwijaya tengah berkuasa atas Sumatera. Untuk bisa mendirikan sebuah perkampungan yang berbeda dari agama resmi kerajaan—perkampungan Arab Islam—tentu membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum diizinkan penguasa atau raja. Harus bersosialisasi dengan baik dulu kepada penguasa, hingga akrab dan dipercaya oleh kalangan kerajaan maupun rakyat sekitar, menambah populasi Muslim di wilayah yang sama yang berarti para pedagang Arab ini melakukan pembauran dengan jalan menikahi perempuan-perempuan pribumi dan memiliki anak, setelah semua syarat itu terpenuhi baru mereka—para pedagang Arab Islam ini—bisa mendirikan sebuah kampung di mana nilai-nilai Islam bisa hidup di bawah kekuasaan kerajaan Budha Sriwijaya.

Perjalanan dari Sumatera sampai ke Makkah pada abad itu, dengan mempergunakan kapal laut dan transit dulu di Tanjung Comorin, India, konon memakan waktu dua setengah sampai hampir tiga tahun. Jika tahun 625 dikurangi 2, 5 tahun, maka yang didapat adalah tahun 622 Masehi lebih enam bulan. Untuk melengkapi semua syarat mendirikan sebuah perkampungan Islam seperti yang telah disinggung di atas, setidaknya memerlukan waktu selama 5 hingga 10 tahun.

Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya para pedagang Arab yang mula-mula membawa Islam masuk ke Nusantara adalah orang-orang Arab Islam generasi pertama para shahabat Rasulullah, segenerasi dengan Ali bin Abi Thalib r. A..

Kenyataan inilah yang membuat sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara sangat yakin bahwa Islam masuk ke Nusantara pada saat Rasulullah masih hidup di Makkah dan Madinah. Bahkan Mansyur Suryanegara lebih berani lagi dengan menegaskan bahwa sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, saat masih memimpin kabilah dagang kepunyaan Khadijah ke Syam dan dikenal sebagai seorang pemuda Arab yang berasal dari keluarga bangsawan Quraisy yang jujur, rendah hati, amanah, kuat, dan cerdas, di sinilah ia bertemu dengan para pedagang dari Nusantara yang juga telah menjangkau negeri Syam untuk berniaga.

“Sebab itu, ketika Muhammad diangkat menjadi Rasul dan mendakwahkan Islam, maka para pedagang di Nusantara sudah mengenal beliau dengan baik dan dengan cepat dan tangan terbuka menerima dakwah beliau itu, ” ujar Mansyur yakin.

Dalam literatur kuno asal Tiongkok tersebut, orang-orang Arab disebut sebagai orang-orang Ta Shih, sedang Amirul Mukminin disebut sebagai Tan mi mo ni’. Disebutkan bahwa duta Tan mi mo ni’, utusan Khalifah, telah hadir di Nusantara pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah dan menceritakan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dengan telah tiga kali berganti kepemimpinan. Dengan demikian, duta Muslim itu datang ke Nusantara di perkampungan Islam di pesisir pantai Sumatera pada saat kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan (644-656 M). Hanya berselang duapuluh tahun setelah Rasulullah SAW wafat (632 M).

Catatan-catatan kuno itu juga memaparkan bahwa para peziarah Budha dari Cina sering menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 Masehi untuk mengunjungi India dengan singgah di Malaka yang menjadi wilayah kerajaan Budha Sriwijaya.

Gujarat Sekadar Tempat Singgah

Jelas, Islam di Nusantara termasuk generasi Islam pertama. Inilah yang oleh banyak sejarawan dikenal sebagai Teori Makkah. Jadi Islam di Nusantara ini sebenarnya bukan berasal dari para pedagang India (Gujarat) atau yang dikenal sebagai Teori Gujarat yang berasal dari Snouck Hurgronje, karena para pedagang yang datang dari India, mereka ini sebenarnya berasal dari Jazirah Arab, lalu dalam perjalanan melayari lautan menuju Sumatera (Kutaraja atau Banda Aceh sekarang ini) mereka singgah dulu di India yang daratannya merupakan sebuah tanjung besar (Tanjung Comorin) yang menjorok ke tengah Samudera Hindia dan nyaris tepat berada di tengah antara Jazirah Arab dengan Sumatera.

Bukalah atlas Asia Selatan, kita akan bisa memahami mengapa para pedagang dari Jazirah Arab menjadikan India sebagai tempat transit yang sangat strategis sebelum meneruskan perjalanan ke Sumatera maupun yang meneruskan ekspedisi ke Kanton di Cina. Setelah singgah di India beberapa lama, pedagang Arab ini terus berlayar ke Banda Aceh, Barus, terus menyusuri pesisir Barat Sumatera, atau juga ada yang ke Malaka dan terus ke berbagai pusat-pusat perdagangan di daerah ini hingga pusat Kerajaan Budha Sriwijaya di selatan Sumatera (sekitar Palembang), lalu mereka ada pula yang melanjutkan ekspedisi ke Cina atau Jawa.

Disebabkan letaknya yang sangat strategis, selain Barus, Banda Aceh ini telah dikenal sejak zaman dahulu. Rute pelayaran perniagaan dari Makkah dan India menuju Malaka, pertama-tama diyakini bersinggungan dahulu dengan Banda Aceh, baru menyusuri pesisir barat Sumatera menuju Barus. Dengan demikian, bukan hal yang aneh jika Banda Aceh inilah yang pertama kali disinari cahaya Islam yang dibawa oleh para pedagang Arab. Sebab itu, Banda Aceh sampai sekarang dikenal dengan sebutan Serambi Makkah.(Rz)

03 September 2011

Legenda Asal Mula Nama Aek Busuk

PUTRA BARUS - Dahulu kala di Lobu Tua, sebuah negeri yang sangat indah karena diapit oleh pemandangan yang sangat indah di sebelah Barat membentang lautan luas yang biru dan di sebelah Timur berjajar pegunungan dengan pepohonan yang hijau sedangkan di sebelah Utara dan Selatan diapit oleh dua buah sungai Aek Manso dan Aek Busuk dengan airnya yang jernih dan sejuk.
Negeri Lobu Tua dipimpin oleh seorang raja yang arif dan bijaksana. Penduduk Lobu Tua sangat menghormati rajanya. Tanah Lobu Tua yang subur menjadikan penghuni Lobu Tua menjadi makmur dan sejahtera. Suasana kehidupan sangat tenang dan damai di tengah kemakmuran.
Hingga pada suatu saat kedamaian Lobu Tua terusik. Kehadiran burung besar berkepala tujuh menjadikan penduduk Lobu Tua sangat ketakutan. Burung besar berkepala tujuh tersebut sangat ganas, setiap melihat asap maka asal datangnya asap akan diobrak-abrik, dan memangsa manusia apabila ada di dekat sumber asap tersebut. Ketika burung tersebut terbang menghampiri sumber asap, maka daerah dibawahnya akan gelap karena matahari akan tertutup. Burung besar berkepala tujuh tersebut mereka namakan “burung garuda”.
Penduduk Lobu Tua sangat ketakutan, memasak saja mereka tidak berani. Jika memasak mereka mengusahakan agar asap api tidak sampai keluar rumah. Mereka bingung harus berbuat apa, segala cara sudah dilakukan untuk bisa menyingkirkan burung ganas tersebut.
Suatu ketika Lobu Tua kedatangan tamu, seorang pengembara yang gagah berani dari kerajaan lain di sebelah Utara. Si Pengembara itu mengatakan bahwa dia sanggup mengalahkan burung ganas tersebut. “Ijinkan hamba untuk mengusir burung ganas itu”, demikian si Pengembara meyakinkan Raja Lobu Tua. Melihat kesungguhan pemuda tersebut akhirnya sang raja mempersilahkan si Pengembara untuk melaksanakan tugasnya.
Si Pengembara lalu meminta untuk dibuatkan sebuah “godung” atau lubang parit di tengah tanah yang lapang. Ketika penduduk membuatkan godung yang diminta, si Pengembara mengasah pedangnya yang sangat tajam. Ketajaman pedang si Pengembara itu diibaratkan, kejatuhan sehelai rambutpun maka rambut tersebut akan putus.
Setelah beberapa hari menggali akhirnya selesailah godung itu, lalu si Pengembara minta disiapkan kayu bakar yang banyak dan dimasukkan kedalam godung. Keesokan harinya si Pengembarapun memulai tugasnya. Seluruh penduduk Negeri Lobu Tua diminta untuk bersembunyi di rumah masing-masing karena dia akan memancing burung ganas tersebut untuk dating. Lalu si Pengembara masuk kedalam godung seorang diri kemudian menyalakan api, serta merta asap api mengepul membumbung tinggi ke angkasa.
Melihat asap tersebut burung ganas itu lalu datang hendak memangsa manusia yang ada disana. Ketika kepala burung itu masuk kedalam godung hendak mencari mangsanya dengan sangat tangkas si Pengembara menghunuskan pedangnya ke leher burung ganas itu. Tiba-tiba terdengar suara melengking yang sangat keras. Ternyata satu kepala burung itu telah terpotong. Lalu burung ganas itu kembali terbang kedalam hutan belantara.
Bersambung…

01 September 2011

Kota Barus dan Penetrasi Kebudayaan India

Penetrasi kebudayaan Hindu yang berasal dari India Selatan dan masuk melalui suatu kota pelabuhan yang dulu mungkin merupakan salah satu kota dagang tertua, terbesar dan paling internasional dibandingkan dengan kota-kota pelabuhan manapun di Kepulauan Nusantara ini seolah-olah terlupakan.

Apalagi sejak munculnya kebudayaan Hindu - Jawa, dan setelah Coedes dan Ferrand menulis buku mereka masing-masing (Le Royaume, de Criwijaya, dan L’Empire Sumatranais de Criwijaya), perhatian sebagian besar peneliti ditujukan pada daerah Jambi dan Palembang.

Padahal kota pelabuhan ini mungkin memiliki arti yang sangat penting. Kota pelabuhan yang dimaksud ialah Barus.

Batu atau “banda bapahek” dekat Suroaso, merupakan saluran air dari zaman Hindu, dibuat dalam sebuah bukit batu. Pada dinding saluran ini juga didapat tulisan. Tetapi tidak seperti prasasti-prasasti lainnya, tulisan pada “banda bapahek” dibuat dalam 2 bahasa. Di sebelah kiri, 10 baris dipahat dengan bahasa Sanskerta seperti pada banyak inskripsi Adityawarman sedangkan di sebelah kanan sebanyak 13 baris, dalam tulisan yang belum ditemukan sebelumnya di Minangkabau NOTE-1.

Seorang epigraf terkenal dari India bernama Krishna Sastri menemukan bahwa tulisan yang di sebelah kanan itu berasal dari India Selatan. Hampir seluruh prasasti yang didapat di Sumatera Tengah hingga waktu itu, memakai bahasa berasal dari bagian utara anak benua India. Dipandang dari sudut ini saja, penemuan di “banda bapahek” tadi merupakan sesuatu yang istimewa karena kedua tulisan tersebut memiliki arti yang sama NOTE-2. Yakni menceritakan mengenai pengumuman sang Raja (Sri Surawasa) Adityawarman kepada rakyatnya.

Sebuah pengumuman raja yang ditulis dalam 2 bahasa, ini tentu saja menandakan bahwa di antara rakyatnya terdapat suatu kelompok besar yang mempunyai bahasa sendiri. Sudah dapat dipastikan bahwa mereka ini ialah sebuah bangsa dari India Selatan yaitu Tamil. Seperti yang akan dikemukan kemudian dibawah ini bahwa pengaruh Tamil di Sumatera Tengah dan Utara besar sekali, masih dirasakan sampai sekarang.

Kota Barus ini segera membawa ingatan kita pada kapur barus (kamfer dalam bahasa Belandanya, mungkin dari kata kapur yang diucapkan kofur oleh bangsa Arab). Begitu pula kemenyan (beruoe dalam bahasa Belanda) mungkin dari kata Arab (lu) ban-jawi atau kemenyan Sumatera NOTE-3.

Kapur barus dan kemenyan tersebut sudah lama sekali diekspor dari Barus disamping hasil-hasil lainnya seperti emas, gading dan culabadak. Tetapi kapur barus yang paling penting, sebab komoditi inilah yang membuat Kota Barus begitu terkenal di dunia waktu itu. Kapur barus asal kota barus inilah yang paling banyak dicari karena kualitasnya yang terbaik, paling laku dan harganya kurang lebih 8 kali lebih mahal daripada kapur-kapur barus asal tempat lain. (Marco Polo pernah menyebut, harga kapur barus seperti emas dengan berat yang sama!). Bayangkan bagaimana majunya sebuah daerah yang memegang monopoli suatu komoditas (kapur barus dan kemenyan) yang sangat dicari “dunia maju” tempo dulu baik di Asia maupun Afrika bagian utara dan mungkin di Yunani. NOTE-A

Seorang Belanda pernah menulis bahwa kemenyan dari Barus, telah dipakai sebagai salah satu bahan mengawetkan (membalsem) mayat raja-raja di Mesir sebelum Masehi NOTE-4. Karena begitu pentingnya kota Barus ini, maka sejak zaman dulu dalam dunia dagang telah dikenal nama-nama baros, balus, pansur, fansur, pansuri (dari Desa Pansur sedikit di utara Barus), kalasaputra (dari kata Kalasan, daerah penghasil kapur barus antara Kota Barus dan Sungai Chenendang), karpura-dwipa, barusai (oleh Ptolomeus dari Alexandria sekitar awal tahun Masehi NOTE D), waru-saka dan lain-lain.

Prof. Kern sendiri pernah menulis bahwa Kota “P’o-lu-chi” yang dimaksud I Tsing di abad ke-7, tidak lain dari Barus. NOTE-5, NOTE-B. Begitu pula Kerajaan “Ho-lo-tan” dalam tulisan-tulisan Cina, mungkin dimaksud Kalasan. Sebuah berita asal Arab dari Syaihkh Abu Salih al-Armini menyebut bahwa sudah semenjak abad ke 7 di Fansur atau Barus telah bermukim sekelompok orang beragama Kristen NOTE-6.

Berita ini dan ditambah lagi dengan fakta bahwa nama Barusai telah dikenal semenjak kira-kira awal tahun Masehi (karena kapur barus dan pernah disebut oleh Ptolomeus), serta dugaan-dugaan hubungan Barus dengan Kerajaan Sriwijaya purba, menimbulkan praduga di kalangan para ahli bahwa mungkin semenjak abad ke 6 atau 7, telah ada sebuah kerajaan di daerah tersebut.

Jadi jelas sudah pentingnya Barus di zaman dulu. Kita dapat membayangkan betapa makmurnya kota Barus ini, dengan penduduk yang sebagian besar terdiri atas kaum pedagang. Tetapi siapakah kaum pedagang itu? Sudah dapat dipastikan bahwa yang mengekspor kapur barus bukan swasta nasional atau pribumi asli tetapi pedagang asal India Selatan yakni bangsa Tamil.

Ini bukan berarti tidak ada bangsa lain yang pernah datang berdagang ke Barus. Tetapi kelihatannya khusus mengenai kapur barus, monopoli dipegang bangsa Tamil tadi. Mereka membentuk semacam oligopoli agar harga kapur barus ini tetap tinggi. Selain itu, bangsa Tamil juga banyak bergaul dengan rakyat setempat dan memasukkan kebudayaan yang dibawa dari India Selatan, makin lama makin melebar ke pedalaman. Akhirnya sampai ke Danau Toba, ada sebuah dugaan mungkin malah melewati danau itu ke daerah pegunungan di Sumatera Timur. Kita tidak tahu dengan pasti, mungkin juga ke selatan dan ke arah tenggara.

Seorang bekas kontrolir Belanda bernama Deutz, sewaktu bertugas di Barus NOTE-7, menulis bahwa menurut rakyat setempat di Lobutua (sedikit timur laut Pansur) pernah didapat penduduk sebuah batu bertulis pada dua bagian. Tetapi sayang, batu itu dalam tahun 1857 dipecahkan oleh Raja Barus bernama Mara Pangkat. Pada tahun 1872 Deutz banyak menemukan pecahan batu peninggalan zaman Hindu yang telah dilupakan orang, telah berlumut.

Tiga buah peci misalnya yang berasal dari sebuah tiang batu segi enam yang mulus, setinggi lebih kurang 83 cm, besar antara 22 dan 25 cm dengan tulisan pada tiga sisinya. Ada lagi pecahan-pecahan berbentuk prasasti, ditulis pada 2 bagian, yang mungkin dipecahkan Mara Pangkat, Raja Barus dahulu. Selain itu, kontrolir Deutz juga menemukan bermacam peninggalan kuno berupa perhiasan emas dan perak, berbagai bentuk kerajinan tangan dari tanah, mata uang dan lain-lain. Atas petunjuk rakyat, dia juga pernah mengunjungi tempat-tempat di mana dahulu bangsa Tamil pernah bermukim. NOTE-8

Seorang epigraf Pemerintah Inggris di India bernama Hultzsch, akhir abad yang lalu menterjemahkan batu Lobutua itu NOTE-9 yang dibuat tahun 1088! NOTE C

Selain itu dikatakan pula bahwa bangsa Tamil yang bermukim di Barus bersatu dalam sebuah usaha dagang bernama “kelompok 500″. Baru pada tahun 1932, prasasti itu diterjemahkan oleh Profesor Nila-kanti Sastri dari Universitas Madras NOTE-10.

Prasasti itu menyebutkan bahwa paling sedikit semenjak abad ke-11, telah bermukim di kota Barus sebuah koloni bangsa Tamil. Menurut batu Lobutua itu, mereka tergabung dalam sebuah perusahaan, terkenal dengan nama “kelompok 500″ yang tidak asing lagi bagi orang-orang India waktu itu. Perusahaan swasta yang mereka wakili, merupakan perusahaan dagang cukup kuat, merdeka dalam tindakan dan tidak gampang tunduk pada salah satu raja yang berkuasa disekitar Barus. Mereka yang berdiam di Barus inilah yang membeli beberapa hasil dari rakyat (terpenting tentu saja kapur barus) untuk diekspor ke luar negeri. NOTE D

Bahasa Tamil sendiri merupakan salah satu bahasa terpenting dari kurang-lebih 21 bahasa Drawidia, dipergunakan di daerah paling selatan anak benua India dengan Kota Madras sebagai pusatnya, di negara bagian Tamil Nadu. Disamping Tamil, beberapa bahasa lainnya yang juga termasuk keluarga bahasa Drawidia ialah Malayalam di Kerala, Kannada di Mysore, dan Telugu di Andra Pradesh. Karena daerah yang berbahasa Tamil itu terletak paling Selatan NOTE-12, maka banyak ahli menganggap bahasa itu paling “murni” kurang dipengaruhi oleh bahasa-bahasa Indo - Arya yang datang dari Utara.

Selain itu, bahasa Tamil dianggap tertua dan terpenting dipandang dari sudut kesusastraan. Dahulu di sana terdapat kerajaan-kerajaan besar dan kuat dibawah keluarga-keluarga terkenal seperti Pandya, Chola dan Pallawa.

Prasasti Lobutua dalam bahasa Tamil, menunjukkan bahwa bangsa itu datang langsung dari negaranya ke kota Barus dipantai barat Sumatera untuk berdagang dan juga karena jarak antara ujung selatan India dengan pantai barat Sumatera itu, relatif tidak begitu jauh. Sedangkan hampir semua prasasti Hindu-Jawa sesudah abad ke-8, dipahat dalam bahasa Kawi atau Nagari NOTE-11.

Pengaruh bahasa Tamil ini di tanah Batak, menurut sebuah teori meluas ke pedalaman sampai ke Danau Toba malah mungkin ke Sumatera Timur. Menurut banyak ahli, bahasa Batak tidak saja mengandung pengaruh bahasa Tamil tadi, tetapi tidak sedikit pula mendapat pengaruh bahasa Sanskerta dari India bagian utara.

Kontrolir Deutz juga mendengar tentang “orang chetti”NOTE-13 dari rakyat setempat. Mereka ini ialah bangsa asing yang kemudian bergaul dengan penduduk seperti orang-orang Minang, Melayu dan Batak. Para pendatang itu berintegrasi dengan rakyat di sana, kebudayaan yang mereka bawa ikut pula memperkaya kebudayaan setempat. Bahasa mereka lambat laun diambil dan banyak kata-kata Tamil hingga hari ini masih dipakai di Sumatera Tengah (Minangkabau, Tapanuli sampai sebagian dari Sumatra Timur).

Menurut seorang ahli bahasa bernama Prof. Van Ronkel, kata-kata seperti gudang, kuli, suasa, kodi, kolam, peti, niaga, bedil dan tembaga, berasal dari bahasa Tamil NOTE-14. Begitu juga kata-kata yang dipakai sehari-hari seperti marapulai, kuli, pualam, cemeti, jodoh, gundu, badai, kolam, belenggu, dahaga, kanji, mahligai maupun nama kue-kue lezat khas Minang seperti talam, onde-onde, apam dan serabi. Melihat jenis kata-kata itu dapat kita simpulkan bahwa, pertama pengaruh mereka memang besar dan kedua, bahwa bangsa Tamil itu merupakan pedagang.

Beberapa ahli berpendapat bahwa orang Batak Karo (istimewa marga besar Sembiring), dianggap sebagai keturunan Tamil yang hingga sekarang paling banyak memperlihatkan pengaruh kebudayaan dari India Selatan itu. Banyak nama marga atau sub-marga rumpun Sembiring seperti Pandia, Meliala dan Cholia, berasal dari bahasa Tamil itu. Begitu juga dengan rumpun Borbor, di daerah Toba atau Dairi NOTE-15. Membakar mayat dan menghanyutkan sebagian dari tulang-tulang di sungai umpamanya, menurut Joustra NOTE-16, adalah kebiasaan marga Sembiring berasal dari bangsa Tamil. Dalam cerita-cerita mitologi Batak, beberapa kebiasaan dan adat Batak, kalender mereka, malah permainan catur, dianggap berasal dari kebudayaan yang sama NOTE-17.

Hal ini mungkin dapat menjelaskan pengaruh dan perkembangan kebudayaan asal India Selatan, di daerah Batak baik di Tapanuli maupun di Sumatera Timur. Tetapi pengaruh kebudayaan ini (terutama bahasanya) melebar sampai di Minangkabau dan beberapa daerah dibagian tengah Pulau Sumatera. “Banda bapahek” ialah bukti mengenai pengaruh ini di Minangkabau.

Apakah pengaruh kebudayaan India selatan sampai di Minangkabau berasal dari daerah Batak melalui Minang-Mandailing ataukah berasal dari Kota Barus? Atau mungkin juga kebudayaan Tamil itu masuk ke Alam Minangkabau dari suatu tempat lain. Seperti dari pantai Sumatera Barat misalnya, jauh sebelum kedatangan kebudayaan Hindu-Jawa. Sampai sekarang belum ada keterangan-keterangan pasti karena kurangnya bukti-bukti sejarah dan banyaknya prasasti-prasati pada zaman itu yang ditemukan oleh para ahli Belanda dan belum dibaca hingga kini.

Ini sangat disayangkan karena persoalan pengaruh kebudayaan Tamil itu, cukup penting. Kalau tidak, apa perlunya pengumuman Raja Minangkabau khusus dibuat dalam dua bahasa. Untuk menyelidiki sejarah kuno itu, kita tidak bisa lagi mengandalkan pada karya sarjana-sarjana bangsa asing, harus dilakukan oleh putra-putra daerah. Ini adalah pekerjaan sulit, memerlukan ketekunan, dedikasi dan dukungan penuh dari pemerintah.

Kalau pengaruh kebudayaan Tamil itu di daerah Batak datang dari Barus, ini bisa dimengerti karena sudah dapat dipastikan tentang adanya koloni bangsa asal India Selatan di kota Barus tersebut. Tetapi bagaimana mengenai marga Sembiring tadi yang (menurut beberapa ahli) memperlihatkan ciri-ciri khas kebudayaan Tamil, tetapi bermukim di daerah pegunungan sebelah timur Danau Toba? Apakah mungkin mereka ini juga berasal dari pantai barat (Barus) ataukah dari pantai timur Sumatera? Kebanyakan yang kita baca mengenai kedatangan pengaruh Hindu, ialah dari bagian timur, karena itu perhatian selalu dipusatkan ke sana. Kita sama sekali belum yakin, persoalan Sembiring itu juga berasal dari sana. (Joustra menamakannya “teka-teki Sembiring”!).

Pengaruh kebudayaan Hindu dari India Selatan ini di Minangkabau jauh lebih tua dari pengaruh Hindu - Jawa dan kemungkinan kecil berasal dari utara (Batak), mungkin ada tempat-tempat lain di pantai barat Sumatra, dimana mereka masuk ke pusat Minangkabau. Sayang penyelidikan ke arah ini tidak banyak atau belum dijalankan oleh para ahli. Pengaruh mereka inilah yang jauh lebih tertanam dalam masyarakat Minangkabau dari pada pengaruh Hindu - Jawa yang praktis tidak berbekas sama sekali.

Bagaimana tentang pengaruh Hindu bukan Tamil yang menurut beberapa sarjana seperti Van der Tuuk, Joustra dan Van Ronkel, juga mempengaruhi kebudayaan Batak? Memang ada teori diantaranya dari Bosch, yang mengatakan pengaruh itu mungkin datang ke sana dari selatan (Minangkabau), paling sedikit ke Mandailing NOTE-18.

Apakah tidak mungkin setelah Kota Barus menjadi pelabuhan penting dan terjadi hubungan dagang yang erat sekali dengan India, juga ikut datang ke sana orang-orang India asal Indo Aryan dari kasta Brahmana umpamanya, guna mengembangkan agama mereka seperti di Pulau Jawa?

Karena belum banyak diketahui kota-kota pantai asal penetrasi kebudayaan Hindu, belum berarti kita dapat memastikan semua aliran ini datang dari bagian timur atau dibawa dari Pulau Jawa. Hal ini mengingatkan kita kembali pada peringatan Prof Veth kira-kira 1 abad yang lalu. Ia mengatakan bahwa kita tidak perlu selalu memikirkan bahwa arus pengaruh kebudayaan Hindu itu harus datang dari Pulau Jawa NOTE-19.

Reference:

Rusli Amran, Sumatera Barat hingga Plakat Panjang, Bab I bagian 4, Kota Barus dan Kebudayaan Asal India Selatan, 1981, Cetakan Pertama, Penerbit Sinar Harapan.

Catatan oleh Pelaminan Minang:
Note A:

Ada tiga jenis kapur barus pada saat itu yaitu:
Kapur barus dari Kalimantan dan Sumatera (Dryobalanops aromatica), Kapur barus dari China dan Jepang (Cinnamomum Camphora) yang banyak beredar dipasaran dan yang ketiga adalah Blumea balsami- fera, yang diproduksi di China dengan nama kapur barus Ngai. Harga dari kapur barus asal Sumatera ini kira-kira 138 kali lebih mahal dari kapur barus China dan Jepang. (Hobson-Jobson, Glossary of Anglo-Indian Words and Phares)

Lihat juga: Travel of Marco Polo Buku 3 Bab 9 dan Buku 2 Bab 8 by Marco Polo dan Rustichello of Pisa

Note B:
Po-lu-chi atau Po-lu-suo terkadang sering keliru diterjemahkan dalam text China dengan Bo-si atau Persia. Barus ini juga sering disebut sebagai Bon-cu, Bian-shu atau Bin-cuo.

(Roderich Ptak, Possible Chinese Reference to the Barus Area (Ming to Tang) in Claude Guillot (ed.) Histoire de Barus, Sumatera: Le Site de Lobu Tua I, Etudes et Documents, Paris, Cahier d’Archipel 30, 1998, pp. 119-138)

Note C:
Pedagang dari Arab mungkin telah berdagang ke kota Barus pada sejak abad ke 8 Masehi. Pada situs Lobu Tua ini ditemukan gelas dan keramik abad ke 9 Masehi serta yang paling penting adalah cap yang kemungkinan berasal dari Iran dengan tulisan Allah dan Muhammad. Selain itu ditemukan juga keramik yang berasal dari China pada abad yang sama.

(Claude Guillot and Sonny Ch. Wibisono, “Le verre à Lobu Tua: Étude préliminaire” in Guillot (ed.)
Histoire de Barus I, pp. 189-206; dan Guillot (ed.), Histoire de Barus, Sumatera: Le Site de Lobu Tua, II ,
Chapter V – Céramique du Proche-Orient”, pp. 171-196.)

Lihat juga: Ludvik
Kalus, “Le plus ancienne inscription islamique du monde malais?” Archipel, Vol. 59 (2000), pp. 23-24.

Note D:
Barus telah disebut oleh Ptolomeus kira kira tahun 150 Masehi. (Kozok, 1991, 14)

Dua peristiwa penting yang mempengaruhi Umat Islam di Asia Tenggara terjadi pada abad ke 10 dan abad ke 11. Salah satunya adalah serangan Raja Cola, Rajendra I yang ingin menguasai perdagangan di selat Malaka yang terjadi pada tahun 1017 dan 1025. Serangan ini membuat perubahan pola perdagangan dari Timur Tengah ke Sumatera dan munculnya perusahaan dagang Tamil yang menguasai Barus yang terdiri dari sekitar 1500 orang Tamil, pemukiman di Barus ini ditinggalkan pada abad ke 12 Masehi dengan alasan yang tidak diketahui.

(Y. Subbarayalu. “The Tamil Merchant-Guild inscription at Barus: A Rediscovery” in
Guillot (ed.) Histoire de Barus I, pp. 25-33. The inscription is dated to the equivalent of 1088 C.E.)

Lihat juga: Kozok, Uli: Prehistory. In: Sibeth, Achim: The Batak. Peoples of the Island of Sumatra. London: Thames and Hudson
1991:13-16.

Note:
No. 1
Notulen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen tahun 1911, halaman 128

No. 2
Hindoe-Javaansche, Prof. N.J. Krom, Den Haag tahun 1962, halaman 410

No. 3
Encyclopdeia van Nederlandsch Indie

No. 4
Sumatra Benzoe, Disertasi P.H. Brans

No. 5
Verspreide Geschriften No VI, halaman 15

No. 6
The ancient Kingdom of Panai and the ruins of Padanglaweh (North Sumatera) oleh Rumbi Mulia dalam BPPAN, Jakarta 1980

No. 7
Barus, G.J.J. Deutz, Tijdschr No. 22 tahun 1875

No. 8
Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan telah mengadakan survey didaerah Barus dibawah pimpinan H.M. Ambary pada bulan Mei 1978. Hal yang menarik ialah ditemukannya sebuah batu nisan di desa Batubadan yang merupakan batu nisan tertua yang pernah ditemukan di Pulau Sumatera, yakni tahun 1206, 90 tahun lebih tua dari makan Malik as Shalah di Aceh.

No. 9
Notulen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen tahun 1892, halaman 80

No. 10
A Tamil Merchant-guild in Sumatera oleh Prof. N. Sastri dalam Tijdschr No 72 tahun 1932

No. 11
Hindoe-Javaansche Geschiedenis oleh Prof. Krom halaman 304

No. 12
Bahasa di India berasal dari 2 keluarga bahasa yaitu: Indo-Aria dan Drawidia. Indo-Aria terkenal dengan bahasa sansekerta yang dipakai di India utara, tengah dan barat utara. Terpenting dari bahasa Indo-Aria adalah Benggali, Marathi, Hindi, Gujarati. Keluarga Drawidia lebih tua dan dipakai sebelum kedatangan bangsa Indo-Arya dan memiliki kebudayaan yang tinggi dilembah sungai Indus (Kebudayaan Harappa) yang terkenal seperti Mahenjo Daro.

No. 13
Perkataan Sati (Sakti) dalam kosa kata Minang mungkin berasal dari kata ini, lebih lanjut baca: Opstellen over Minangkabau oleh Westenenck ( Koloniale Studien No. VI tahun 1922. De Chetti en Zijn Bedriff oleh S.J. Schoorl ( Koloniale Studien tahun 1926) yang membahas mengenai kegiatan orang Chetti di Sumatera Timur.

No. 14
Het Tamil Element in Het Maleisch oleh Von Ronkel (Tijdschr No 45 tahun 1902)

No. 15
Oudheidkundig Verslag van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen oleh Stein Callenfels tahun 1920 halaman 73

No. 16
Meededeelingen Omtrent en Opmerkingen naar Aanleiding v.h. Pek Oewaloeh of het Doodenfeest der Marga Sembiring (Keterangan tentang dan catatan terhadap pek Uwalah atau pesta mati Marga Sembiring). Tijdschr. No. 45 tahun 1902

No. 17
Hindoe Invloed in Noordelijk Batak-land oleh J. Tideman (A’dam 1936). Karo Bataksche Offerplaatsen oleh J.H. Neumann (Bijdrage van het Koninklijk Instituut tot Taal-, Land en Volkenkunde No 83 tahun 1927 halaman 514). Aanteekeningen Omtrent de Godsdienstige Begrippen der Karo Bataks oleh C.J. Westenberg (Bijdr No 41 tahun 1892).

No. 18
Laporan Perjalanan Melintas Sumatra oleh F.D.K. Bosch (Oudheidkundig Verslag van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen tahun 1930)

No. 19
Tjidschrift voor/van Nederlandsch Indie tahun 1889 Jilid 1

Sumber: http://pelaminanminang.com/sejarah-minangkabau/kota-barus-dan-penetrasi-kebudayaan-india.html