BARUS SEHARUSNYA JADI CAGAR BUDAYA

04 April 2014

2015 Bendungan Sitakkurak Tapteng Dibangun

Jakarta (SIB) - Bendungan Sitakkurak, Tapanuli Tengah akan dibangun tahun 2015. Demikian disampaikan anggota DPD RI Parlindungan Purba usai melakukan audiensi di Direktorat Jenderal Sumberdaya Air Kementerian Pekerjaan Umum di Jakarta, Selasa (1/4).

Audiensi tersebut turut dihadiri  Kepala Bappeda Tapanuli Tengah  Basyri Nasution, Kadis PU Tapanuli Tengah Jhonson Pasaribu dan diterima pejabat Ditjen Sumberdaya Air Kementerian PU, Andi Sudirman, Yudi dan Manimpan Pasaribu.

Pada kesempatan tersebut Parlindungan Purba menyampaikan  usulan pembangunan bendungan dan  infrastruktur pertanian daerah irigasi Sitakkupak, Tapteng sebagaimana hasil penyerapan aspirasi masyarakat di kabupaten tersebut baru-baru ini.

03 April 2014

Nabang Si Penunggang Paus

Pada suatu masa saat pulau Andalas dipimpin oleh Sultan Alam, datanglah raja dari Negeri Penyu bernama Si Meulu, menjumpai Sultan Alam, “Sultan Alam yang perkasa, hamba datang ke isatana tuan untuk mengadukan permasalahan yang sedang kami hadapi”, jelas Raja penyu Si Meulu dengan air mata berlinang.
“Wahai Raja Penyu sahabatku sampaikanlah apa yang menyebabkan engkau gelisah dan bersedih“, pinta Sultan Alam.
“Negeri hamba, pulau penyu, sudah tidak aman lagi, seekor naga raksasa bernama Smong telah menyerang dan membunuh rakyat hamba, setiap hari ada korban yang jatuh, sebagian rakyat hamba sudah mengungsi kepenjuru dunia karena khawatir akan dimangsa oleh Smong si naga raksasa itu”, jelas Raja Penyu sambil menangis.

01 April 2014

BARUS, KOTA TEMPAT LAHIR SYEKH HAMZAH FANSURI


BARUS, KOTA TEMPAT LAHIR

SYEKH HAMZAH FANSURI


Abdul Hadi W. M

Barus di pantai barat Sumatra, enam puluh kilometer di barat daya Sibolga dan sekitar tujuh puluh kilometer di timur laut kota Singkil, adalah sebuah kota kecamatan yang sunyi dan terpencil sekarang ini. Namun pada masa-masa kejayaannya sebelum abad ke-17, kota ini masyhur sebagai pelabuhan yang ramai disinggahi kapal-kapal dagang asing – terutama dari Cina, India, Arab, Persia, Turki dan Portugis – selama berabad-abad. Sumber tertua mengenai Barus kita dengar dari catatan Ptolomeus, ahli geografi Yunani pada abad ke-2 SM.  Menurut Ptolomeus, kapal-kapal Athena telah singgah di sini sepanjang abad ke-4 dan 3 SM, begitu pula kapal-kapal Fir'aun dari Mesir untuk membeli kapur barus atau kamfer, bahan yang diperlukan untuk membuat mummi.

Namun sebagai pelabuhan dagang kota ini baru mencapai kemakmuran pada abad ke-7 tidak lama setelah berdirinya kerajaan Sriwijaya. Sumber Cina menyebut Sriwijaya dan Barus sebagai kerajaan kembar. Bahkan I Ching, musafir Cina yang berkunjung ke Sumatra pada abad ke-7 mengatakan bahwa kota ini merupakan pusat penyebaran aliran  Mulasarvastivada, sebuah madzab dalam Budhha Mahayana yang banyak diikuti penduduk Sriwijaya. Tetapi pada abad ke-9 M pedagang-pedagang Arab dan Persia, kemudan Turki, mulai ramai berdatangan ke Barus untuk memperoleh emas, lada, kapur barus, dan lain-lain. Kapur dan lada yang dihasilkan di daerah ini terkenal tinggi mutunya dan merupakan bahan perniagaan penting pada masa itu (Drakard 1989). Sudah pasti mereka tinggal agak lama di situ, karena pelayaran ke negeri asal mereka sangat jauh dan harus pula menunggu musim yang baik untuk berlayar. Mereka lantas kawin mawin dengan wanita setempat sehingga terbentuklah komunitas Muslim yang signifikan disitu.