BARUS SEHARUSNYA JADI CAGAR BUDAYA

19 February 2015

Putri Runduk, Antara Sejarah dan Legenda

Kisah tentang ‘Putri Runduk’ sangat dikenal oleh masyarakat di sepanjang pesisir barat Sumatera Utara, mulai dari Barus sampai ke Natal, meski dengan versi masing-masing. D. Edi Saputra, seorang seniman asal Sibolga Tapteng, menuliskan catatan ‘antara sejarah dan legenda’ kisah putri yang konon sangat cantik ini.

Dari sisi cerita, Putri Runduk tak kalah menarik dengan cerita lain yang ada di bagian lain tanah air kita. Ada cerita tentang Kejadian Danau Toba di Tanah Batak, Malin Kundang dari Minang, Sampuraga dari Mandailing, Putri Hijau dari Melayu Deli, Roro Jonggrang dari Jawa, Nyi Roro Kidul, dll.

Sebuah cerita rakyat biasanya dituturkan oleh para orang tua kepada anak dan cucu mereka. Demikianlah dari waktu ke waktu dari zaman ke zaman, cerita itu mengalir dan terwarisi oleh generasi berikutnya. Penulisan kisah mengenai ‘Putri Runduk’ ini bermula dari niat Dinas Pariwisata dan Budaya Pemuda dan Olahraga Kota Sibolga, untuk menggali cerita atau sejarah ”Putri Runduk”, yang sudah turun temurun didengar dan diperbincangkan. Kisah ini diharapkan menjadi ”sesuatu” yang lebih bernilai dan membuka kemungkinan menjadikannya sebagai ”ikon wisata budaya” kota ini. Meski harus diakui masih cukup jauh langkah dan upaya menuju apa yang diinginkan, keterbatasan data dan sumber informasi, baik yang tertulis atau tak tertulis. Selain itu, cakupan wilayah kisah dan cerita yang sangat luas, menyangkut demografis wilayah lain, selayaknya menjadi pemikiran untuk dicari kesamaan versi dan alur ceritanya.


Siapakah sesungguhnya sosok Putri Runduk?

Ditinjau dari sejarah, referensi tertulis mengenai Putri Runduk tidak banyak. Namun penulis mengutip tulisan HA Hamid Panggabean, Drs H Afif Lumbantobing dkk, dalam buku Bunga Rampai Tapian Nauli terbitan tahun 1995.

Dari halaman 211–213 disebutkan: Sekitar abad ke-7 di kota Kerajaan Barus Raya, memerintah seorang raja yang cukup ternama. Raja Jayadana (tidak disebutkan keturunan dari mana ataupun berasal dari negeri mana) namanya. Wilayah kerajaan ini membawahi daerah yang sudah memasuki era Islam, disebutkan Kota Guguk dan Koota Beriang, di dekat Kade Gadang (Barus) sekarang ini. Pada masa itu Barus telah menjadi bandar niaga rempah dan kapur Barus yang terkenal itu.

Layaknya seorang Raja, maka Raja Jayadana beristerikan (permaisuri, ratu) yang bernama Putri Runduk (tidak tertulis asal dari mana dan keturunan dari siapa).

“Kecantikan sang permaisuri sampai ke luar wilayah kerajaan. Dan Barus sebagai bandar niaga antar wilayah dan kerajaan, ikut menyebarluaskan perihal kecantikan luar biasa dari sang ratu, Putri Runduk!” tulis HA Hamid Panggabean, Drs H Afif Lumbantobing dkk, dalam bunga rampai mereka.

Disebutkan, beberapa raja di luar wilayah Barus, akhirnya berspekulasi merebut Putri Runduk dari kerajaan Jayadana. Tercatat Raja Janggi dari Sudan-Afrika, dan Raja Sanjaya dari Kerajaan Mataram. Bahkan seorang Raja dari Cina datang melamar dengan baik-baik.

Selanjutnya ditulis, Raja Janggi dan Raja Sanjaya ingin menguasai Barus sebagai bandar perdagangan dunia pada masa itu, melalui peperangan sekaligus ingin memiliki sang ratu Putri Runduk.

Demikianlah, Raja Sanjaya berhasil menewaskan Raja Jayadana dan isterinya Putri Runduk ditawan, karena menolak lamaran Raja Sanjaya. Masalahnya Raja Sanjaya beragama Hindu, sedangkan sang putri beragama Islam.

Simaklah pantun berikut ini:
kota guguk kota bariang
            ka tigo kota di muaro
            ayam bakukuk ari siang
            puti runduk ditawan jao

red.     kota guguk kota beriang
            ke tiga kota di muara
            ayam berkokok hari siang
            putri runduk ditawan jawa

Ternyata..,inilah kesempatan yang dinanti oleh Raja Janggi. Mengetahui Putri Runduk telah ditawan oleh Raja Sanjaya, Raja Janggi dan pasukannya menyerang Raja Sanjaya. Pertempuran kembali terjadi di Barus, dan Kota Guguk pusat kerajaan Jayadana hancur porakporanda. Raja Janggi berhasil mempecundangi Raja Sanjaya.

Sekelompok pengawal setia dari sisa kerajaan Jayadana menyelamatkan ratu mereka Putri Runduk ke Pulau Morsala. Dalam pelarian inilah, disebutkan berceceran peralatan dan perbekalan yang dibawa oleh rombongan Putri Runduk, lalu terdampar di pulau-pulau kecil sekitar pulau Morsala. Dinamailah pulau-pulau itu sesuai barang yang terdampar di situ. Seperti, Pulau Situngkus, Pulau Lipek Kain, Pulau Tarika, Pulau Puteri, Pulau Janggi, dll.

Raja Janggi sampai juga di Pulau Morsala. Ketika hendak menangkap Putri Runduk, sang putri memukulkan tongkat akar bahar ke kepala Raja Janggi (tidak jelas ditulis, apakah Raja Janggi tewas atau ikut terjun ke laut mengejar Putri Runduk yang terlebih dulu terjun ke laut karena putus asa?).

Entah benar atau tidak, dari kejadian itu oleh masyarakat dikaitkan dengan pantun pesisir sebagai berkut:

            pulo puti pulo panginang
            ka tigo pulo anak janggi
            lapik putih bantal bamiang
            racun bamain dalam ati

Setelah peristiwa tragis itu, disebutkanlah seorang pembantu Putri Runduk, yang tugasnya mengurusi rumah tangga kerajaan, seorang pemuda anak nelayan miskin bernama ”Sikambang Bandahari.” Pemuda ini meratap dan menyesali diri, tak mampu membela dan menyelamatkan Putri Runduk. Ia juga meratapi majikan yang bunuh diri terjun ke laut, menyesali raja-raja zalim, dan kerajaan yang telah hancur.

Ratapan sedih Sikambang itulah.., yang akhirnya menjadi ”ratapan legendaris”, yang hari ini kita kenal sebagai lagu Sikambang..!

Masih versi sejarah kisah Putri Runduk, dari buku Sejarah Masuknya Islam ke Bandar Barus Sumatera Utara tulisan Dada Meuraxa (1973) dalam Sub Judul ”LEGENDA ABAD KE-7 TENTANG PUTRI RUNDUK DI PANTAI FANSUR ” (Hal.29) dan ”PUTRI RUNDUK RATU JAYADANA?” (Hal.31), disebutkan; Di pesisir Tapanuli Tengah di wilayah Barus tersebut terdapat satu cerita yang paling terkenal di sana yaitu Putri Runduk seorang ratu yang amat cantik. Rupanya putri itu sudah beragma Islam dan berkedudukan di Patupangan di tepi Bandar Fansur.

Oleh kecantikan sang ratu yang luar biasa itu, beberapa raja disebutkan ingin meminang ratu, antara lain; Pada tahun 732 M Raja Senjaya dari Jawa (Mataram?) , Raja Cina (tak jelas nama dan silsilahnya), juga Raja Janggi (disebut dari India, atau Sudan Afrika?).

Raja Cina berkumpul di Singkuang–Natal, Raja Janggi berkumpul di Lobu Tuo, Raja Senjaya berhasil menawan Putri Runduk.

Kisah dan cerita selanjutnya hampir seirama, kecuali tembahan informasi penolakan Putri Runduk atas pinangan Raja-Raja dari luar itu karena berbeda agama. 

Kisah Putri Runduk ada berbagai versi. Ada yang menyebut dia Panglima tentara laut, keturunan kerajaan Syailendra yang diutus ke wilayah Pantai Barat dan Barus. Ada yang menyebut, dialah Ratu Jayadana. Dan konon akhirnya, sang putri sempat lari ke Pulau Morsala, sendirian bertarung melawan Raja Janggi, hingga ”habis kaji putus ma’rifat”.

Dalam sebuah buku cerita Parahiangan Bahasa Sunda, yang sudah diselidiki oleh sarjana Pelytes disalin ke bahasa Belanda oleh Prof Dr Purbocoroko; ”di tahun 732 M Raja Senjaya anak Sena melakukan peperangan dengan Bali, Bima, Melayu, Kemir, Keling, Cina dan Barus”.

Di Barus, raja waktu itu adalah Ratu Jayadana, yang bila dikaitkan dengan mitos rakyat Barus, pada ribuan tahun lalu di Barus terdapat satu kerajaan yang dikuasai seorang ratu bergelar ”Putri Runduk”.

Dari ke-dua buku tersebut, penulis (D. Edi Saputra, Red) mencatat adanya persamaan dan perbedaan cerita tentang Putri Runduk itu. Di buku ”Bunga Rampai Tapian Nauli”, dengan jelas disebutkan bahwa Putri Runduk adalah permaisuri (isteri dari Raja Jayadana). Pertanyaannya adalah: Mungkinkah seorang isteri raja dilamar atau dipinang oleh raja-raja dari negeri lain? Atau benarkah raja-raja dari luar itu hanya ingin menguasai Barus yang terkenal sebagai bandar perniagaan rempah, kemenyan dan kapur Barus? Dan kemudian menawan sang putri?

Pada buku Sejarah Masuknya Islam ke Bandar Barus Sumatera Utara ditulis ”Putri Runduk Ratu Jayadana?” tidak tertulis Putri Runduk sebagai permaisuri Kerajaan Jayadana (tidak tertulis ada seorang raja bernama Jayadana). Dengan kata lain Putri Runduk adalah seorang Ratu yang berkuasa ketika itu.

Apabila kemudian banyak raja-raja dari luar yang ingin mempersuntingnya, kemungkinan itu disebabkan oleh kecantikan putri yang luar biasa! Namun sang putri menolak semua pinangan raja-raja dari luar itu dengan alasan yang sangat prinsip yakni perbedaan agama, sang putri sudah memeluk agama Islam.!

Hal lain yang pantas dicatat; Bahwa Kerajaan Mataram adalah salahsatu Kerajaan Islam di tanah Jawa. Tidakkah Raja Senjaya telah beragama Islam ketika itu?

Lepas dari seluruh pertanyaan akan kebenaran fakta sejarah itu, cerita legenda juga mewarnai kisah Putri Runduk. Dan seperti umumnya legenda, biasanya selalu diiringi bumbu kata ”boleh percaya boleh tidak !”

Sebagai pengamat, penulis berulangkali telah mendengar kisah Putri Runduk, terutama dari para orang tua yang pada umumnya berkecimpung dalam dunia seni dan budaya pesisir. Seperti nama Alm. Buya Farid Panggabean, Alm. Nuh Kahar (di Pasar Belakang), Alm. Tabrani Marbun (di Pulo Herek Sambas), dan beberapa nama di Kota Baringin dan Aek Habil, yang menceritakan kisah Putri Runduk itu.

Dari alur cerita, penulis sangat terkesan dalam beberapa hal seperti, kekayaan seni dan budaya serta moral cerita yang bernilai tinggi namun belum tergali secara maksimal.

Kelemahan budaya cerita atau bertutur adalah hilangnya memori, kurangnya minat dan pengetahuan para orang tua terdahulu untuk mendokumentasikan cerita dalam bentuk tulisan, mengakibatkan legenda itu hilang akarnya dari ranah bumi yang melahirkan cerita itu sendiri. Pada tahun 70-an, penulis sudah membaca buku tulisan Dada Meuraxa, yang memuat cerita rakyat di Sumatera Utara, termasuk cerita Putri Runduk.

Pada tahun 1993, penulis bersama beberapa seniman dan tokoh masyarakat seperti Angku Raja Jakfar Hutagalung, Tajuddin Nour, Dachlan Yan Jamack (Wakil Ketua Dewan Kesenian Sibolga ketika itu), Indra Effendi (Scorpio), dll. Mencoba menerima tawaran BKKN Tapteng untuk mendokumentasikan Legenda Putri Runduk dalam bentuk Sinetron. Sayang…, dokumentasi itu rusak termakan usia.

Beberapa informasi tambahan cerita yang penulis dapatkan, selain disebut Putri Runduk, konon dia adalah Panglima tentara laut, keturunan kerajaan Syailendra yang diutus ke wilayah Pantai Barat dan Barus, dalam upaya mendapatkan kemenyan dan kapur barus.

Oleh raja Barus diberikan wilayah kepada Putri Runduk di sekitar Barus dan bergelar ”Jayadana”.

Ada pula cerita yang mengatakan, hubungan antara Putri Runduk dengan Panglima Buyung Sorkam!

Namun masyarakat umumnya mengakui adanya hubungan cerita antara Putri Runduk dengan Raja Janggi yang ingin mempersuntingnya. Disebutkan, salahsatu syarat permintaan Putri Runduk yang harus dipenuhi Raja Janggi adalah, mempersatukan Pulau Situngkus agar merapat ke daratan Pulau Sumatera. Konon itulah sebabnya terjadi sempalan atau pecahan Pulau Situngkus sekarang ini.

Dari penelusuran penulis, akhirnya tersebutlah ada 2 panglima Putri Runduk yang sakti, yakni Panglima Bulu Dare dan Panglima Bulu Songsang.

Setelah kedua panglima ini tewas dibunuh oleh Raja Janggi, sang putri lari ke Pulau Morsala. Tinggallah Putri Runduk sendiri menghadapi Raja Janggi. Terjadilah pertarungan tenaga batin, sampai ”habis kaji putus ma’rifat”. Raja Janggi disumpah ”menjadi batu”, Sang Putri terjun ke laut, hilang raib tak berbekas!

Dan, peralatan serta perbekalan yang cerai-berai hanyut mengapung di tengah laut, menjelma menjadi pulau-pulau yang kita kenal sekarang di teluk tapian nauli.

Demikian pula pantun pesisir yang menceritakan tentang Putri Runduk dan Raja Janggi, dan Dayang Sikambang yang disebut sebagai inang pengasuh, dayang dan penari.

Inilah cerita yang dimiliki oleh masyarakat pesisir barat Sumatera Utara pada umumnya, Tapanuli Tengah dan Sibolga khususnya.

Akhir kata, seiring waktu, diharapkan akan semakin tergali informasi, data, dan sumber yang lebih akurat tentang sosok seorang Putri Runduk.

Seni dan budaya adalah bahasa yang universal, maka dalam upaya pelestariannya siapa saja boleh melakukannya, sebelum warisan senibudaya itu hilang tak berbekas.

Ibarat mengangkat batang terendam, diperlukan kesungguhan baik dari tokoh masyarakat, tokoh adat, peneliti dan instansi terkait untuk melakukan penelusuran yang lebih mendalam, kemudian mendokumentasikannya, agar generasi berikutnya tidak kehilangan jejak seni dan budaya leluhurnya. (Habis/Penulis adalah Pensiunan RRI Sibolga- pengamat dan pemerhati masalah seni dan budaya).


Sumber: https://dameambarita.wordpress.com

No comments:

Post a Comment